Bidadari Bermata Jeli
Senin, 22 Desember 2014
Kamis, 13 November 2014
Akhirnya, kita bertemu lagi. Setelah satu musim memisahkan kita. Antara rasa rindu dan jarak, kita berada ditengahnya. Antara sapa dan gengsi, kita berada tepat ditengah keduanya. Rasa rindu menatap mata yang jika menatap hilang segala rasa risau. Menatap dan mendengar. Mempekerjakan mata, telinga dan hati dilengkapi dengan seluruh perhatian untuk menjadi saksi hari-hari yang menakjubkan. Rasa lega yang akan menjadi pelipur hati ketika tahu bagaimana keadaan dan perasaan hingga detik ini. Namun kita diantara jarak dan gengsi. Rindu itu, hanya aku atau kita yang merasakannya. Entahlah.
Tapi, akhirnya kita bertemu lagi. Sejenak kamu menatapku. Apa ada yang aneh dariku? Kenapa?
"Kamu berubah."
Ahh, aku yakin ini tentang fisik.
"Iya kah? Apa yang berubah? Aku tambah seksi? Haha."
"Kamu gendut."
Dan, benar. Iya, aku gendut. Malam hari aku selalu kelaparan. Energiku terkuras banyak untuk aktivitasku sehari-hari dan memikirkanmu. Lapar obatnya makan kaaaan? Jadilah seperti ini. Makan malam penyebabnya. Makan larut malam. Aku juga jarang olahraga, kegiatan padat, jadi stress dan "stress". Baiklah. Tapi hatiku tidak berubah. Itu yang harus kamu tahu. Seharusnya.
"Ahh.. Masa sih. Engga laaah.. aku cuma ga kurus aja. Kamu makin oke aja nih."
Aduh, aku mulai linglung.
Bahan becandaku garing. Kamu tidak menanggapinya.
"Kamu lelah? Mata kamu sayu. Mata panda."
"Iya. Mungkin aku lelah. Haha. aku kurang istirahat. Kurang tidur."
Lihaat..lihatlaah! Kantong mata pandaku menyimpan banyak rindu untukmu. Lihat lagi, penuh dengan rindu.. Lihatlaah!
"Jaga kesehatan, jaga pola makan. Jangan hanya makan lemak. Biar tambah sehat konsumsi Sabu-sabu lebih banyak."
"Sabu-sabu? Kamu gila? Eh.. yang bener aja.. Masa iya aku konsumsi Sabu-sabu. Gimana sih.."
"Haha... Kamu itu ya, ga berubah. Lebay. Makanya dengarkan dulu. Sabu itu sayur-buah. Itu baik buat kamu, Nduut.."
"Haha..Bisa aja kamu. Aku uda kaget aja.. "
"Huh, dasar!"
Dan kita bersama, becanda, bercerita tanpa sadar kita sudah duduk disini selama tiga jam. Botol minum kita sudah habis dan kamu sudah melahap semua roti selai kacang kesukaanmu. Sengaja aku membawanya, melihat reaksi bahagiamu saat membuka kotak roti itu membuatku lebih utuh. Itu yang aku rindukan. Kita bersama seakan tidak ada jarak
Tetapi tiga jam rasanya belum cukup. Satu musim tanpamu yang aku lalui ingin aku deskrispsikan lebih detail lagi denganmu. Deskripsi tentang segala hal yang aku jalani bukan denganmu. Tiga jam tidak cukup. Aku juga ingin mendengar banyak hal ajaib dari kisahmu selama satu musim lalu. Duduk disampingmu, sesekali mengusap rambutmu yang ikal. Oh iya, kamu masih malas potong kuku kah? Kata temanku disetiap kuku itu ada babinya. Kamu tidak mau memelihara babi ditanganmu kan? Itu kata temanku. Ah, sudahlah. Aku harus cukup dengan tiga jam.
Akhirnya, kita bertemu lagi. Sampai bertemu lagi, dalam mimpi selanjutnya..
Kamis, 06 November 2014
Selasa, di lantai 4, saat mata kuliah Bahasa Indonesia. Memasuki ruangan, pandangan pertama adalah kaca. Benda tembus pandang yang menyuguhkan pemandangan damai. Seketika kudapati binar oranye senja begitu memikat. Senja begitu membiusku. Dan senja kali ini sangat berbeda dari selasa-selasa yang lalu. Memaksaku lebih lebar membuka mata indera dan mata hati.
Seperti cahaya dari surga. Lubang langit yang berasal dari singgasana tertinggi para bidadari. Dengan sinar oranye seperti jalan mereka kembali ke peraduan. Di sekeliling sinaran semburat surga senja terdapat gunung awan yang tak kalah menakjubkan. Seperti dunia diatas dunia. Awan-awan senja yanng membentuk garis bukit dan gunung tertinggi diatas langit. Mereka begitu nyata. Sangat nyata. Mempesonakan aku dalam sebuah lamunan yang cukup lama.
Senja, engkau lebih dari kata indah itu sendiri. Hingga detik ini masih terlukis manis setiap detailmu. Kuterpejam lalu tenggelam. Melihatmu senja dalam memori. Dari kaca diatas luasnya kota Yogyakarta yang mulai meredup. Bias-bias oranye senja mewarnai langit yang sama meredupnya bersama sebuah rindu. Masih didalam gelapnya mata yang terpejam, mengingat lubang langit senja dari surya berbalut mega. Dan gunung-gunung awan yang begitu kokoh, kita serasa dekat. Akan ku singkap awan yang menutupmu dan kubawa pulang surya.
Akan selalu kunanti Selasa senja berikutnya. Ditempat yang sama. Akan kulawan ketinggian dan menangkap senja dibalik dinding kaca, disinari oranye senja, dibawah rasa rindu. Adakah nanti kesempatan, akan kurengkuh engkau tak hanya dari lantai 4. Nanti, diatas batu tertinggi, dihamparan pasir luas..
Nantikan aku.
Seperti cahaya dari surga. Lubang langit yang berasal dari singgasana tertinggi para bidadari. Dengan sinar oranye seperti jalan mereka kembali ke peraduan. Di sekeliling sinaran semburat surga senja terdapat gunung awan yang tak kalah menakjubkan. Seperti dunia diatas dunia. Awan-awan senja yanng membentuk garis bukit dan gunung tertinggi diatas langit. Mereka begitu nyata. Sangat nyata. Mempesonakan aku dalam sebuah lamunan yang cukup lama.
Senja, engkau lebih dari kata indah itu sendiri. Hingga detik ini masih terlukis manis setiap detailmu. Kuterpejam lalu tenggelam. Melihatmu senja dalam memori. Dari kaca diatas luasnya kota Yogyakarta yang mulai meredup. Bias-bias oranye senja mewarnai langit yang sama meredupnya bersama sebuah rindu. Masih didalam gelapnya mata yang terpejam, mengingat lubang langit senja dari surya berbalut mega. Dan gunung-gunung awan yang begitu kokoh, kita serasa dekat. Akan ku singkap awan yang menutupmu dan kubawa pulang surya.
Akan selalu kunanti Selasa senja berikutnya. Ditempat yang sama. Akan kulawan ketinggian dan menangkap senja dibalik dinding kaca, disinari oranye senja, dibawah rasa rindu. Adakah nanti kesempatan, akan kurengkuh engkau tak hanya dari lantai 4. Nanti, diatas batu tertinggi, dihamparan pasir luas..
Nantikan aku.
Senin, 27 Oktober 2014
Kumenanti, senja. Aku, ketika mendengar kata senja, atau matahari terbenam adalah.. senyum. Sejenak, kulihat ke arah surya, sedikit menyipitkan mata, mengangkat dan memiringkan kepala. Lalu, senyum. Senyum tak hanya satu atau dua arti. Ada perasaan yang tak dapat dideskripsikan. Akan ada banyak binar yang menggetarkan hatimu.
Jika kamu paham.
Senja selalu memberi makna. Lebih-lebih jika sedang banyak gelembung rindu dipelupuk mata. Senja, adalah yang terkasih yang dinanti kedatangannya. Ia paling mengerti kapan senyum itu pecah dan lumer. Semburat oranye senja bagaikan petunjuk jalan kemana perahu harus berlabuh.
Senja selalu memberi makna. Manakala cinta seperti harimau sirkus yang terlepas kemudian lari ke pemukiman penduduk. Liar. Cinta seperti spons yang menyerap seberapapun air kasih yang tumpah. Cinta adalah senyum simpul, senyum malu, tawa lepas, rona merah dipipi. Awan-awan teduh senja adalah tangga-tangga cinta yang menuntun kaki untuk menginjak singgasana.
Senja selalu memberi makna. Saat sendu beradu menantang arus pilu yang deras. Ketika sinar senja menusuk mata, serasa ribuan bola api meluncur ke arahnya. Semakin dekat semakin memanas. Memaksa untuk terpejam agar bumi tidak tiba-tiba hujan. Senja adalah asa yang terbengkalai, helaan nafas panjang. Mentari senja adalah objek yang ingin direngkuh kemudian dipaksanya duduk untuk teman bersandar.
Senja adalah rasa sayang yang menguras relung. Serasa senja ingin kukejar. Kunikmati senja dihamparan pasir atau jika tidak diatas bebatuan tertinggi. Aku ingin senja. Betapa hanya senja yang mampu mengerti setiap rasa yang tak tersurat. Cukup memandang senja, akan terlihat banyak pemberi senyum disepanjang hidup sampai saat ini.
Betapa senja memberi energi disetiap jejak untuk menulis sejarah. Kunanti senja, dengan binar mata menanti sinar oranye menutup wajah sendu penuh rindu. Ingin kuhela nafas bersama senja, paling tidak temani aku membasahi bumi sebentar saja. Agar aku merasa lepas. Senja, maukah kamu? Akan kurekam detik-detik bersamamu. Agar jika rindu, kamu tidak payah lagi menemaniku.
Ku simpan senja disanubari, sampai senjaku.
Jika kamu paham.
Senja selalu memberi makna. Lebih-lebih jika sedang banyak gelembung rindu dipelupuk mata. Senja, adalah yang terkasih yang dinanti kedatangannya. Ia paling mengerti kapan senyum itu pecah dan lumer. Semburat oranye senja bagaikan petunjuk jalan kemana perahu harus berlabuh.
Senja selalu memberi makna. Manakala cinta seperti harimau sirkus yang terlepas kemudian lari ke pemukiman penduduk. Liar. Cinta seperti spons yang menyerap seberapapun air kasih yang tumpah. Cinta adalah senyum simpul, senyum malu, tawa lepas, rona merah dipipi. Awan-awan teduh senja adalah tangga-tangga cinta yang menuntun kaki untuk menginjak singgasana.
Senja selalu memberi makna. Saat sendu beradu menantang arus pilu yang deras. Ketika sinar senja menusuk mata, serasa ribuan bola api meluncur ke arahnya. Semakin dekat semakin memanas. Memaksa untuk terpejam agar bumi tidak tiba-tiba hujan. Senja adalah asa yang terbengkalai, helaan nafas panjang. Mentari senja adalah objek yang ingin direngkuh kemudian dipaksanya duduk untuk teman bersandar.
Senja adalah rasa sayang yang menguras relung. Serasa senja ingin kukejar. Kunikmati senja dihamparan pasir atau jika tidak diatas bebatuan tertinggi. Aku ingin senja. Betapa hanya senja yang mampu mengerti setiap rasa yang tak tersurat. Cukup memandang senja, akan terlihat banyak pemberi senyum disepanjang hidup sampai saat ini.
Betapa senja memberi energi disetiap jejak untuk menulis sejarah. Kunanti senja, dengan binar mata menanti sinar oranye menutup wajah sendu penuh rindu. Ingin kuhela nafas bersama senja, paling tidak temani aku membasahi bumi sebentar saja. Agar aku merasa lepas. Senja, maukah kamu? Akan kurekam detik-detik bersamamu. Agar jika rindu, kamu tidak payah lagi menemaniku.
Ku simpan senja disanubari, sampai senjaku.
Rabu, 15 Oktober 2014
Sederhananya sangat sederhana
Cita tanpa sua
Cinta tanpa sua
Ketika jarak dan "jarak" memisah
Waktu dan ruang adalah penghalang
Taukah, relung meraung
Ketika jarak dan "jarak" tak lagi memisah
Disampingmu, didekatmu, didepan matamu, didekap matamu
Melihatmu, menatapmu, mendalamimu
Lekat-lekat..
Tuhan..
Aku mohon saat ini
Hentikan malam ini, hentikan sejenak
Detikku ingin kuurai bersamanya
Detik demi detik, tak rela sedikitpun terlewatkan
Menatapnya..
Sungguh Engkau Maha Sempurna
Menatapnya..
Tak rela sedetikpun terlewatkan
Aku mohon saat ini
Aku ingin menumpahkan segala rindu yang mencekik
Betapa udara tak memberiku nafas
Aku ingin bersandar dibahu nyamannya
Betapa dunia enggan aku singgahi
Aku ingin mendengar lembut, tegas, canda suaranya
Betapa senyum palsu selalu kuukir demi menahan dera
Aku ingin... aku ingin... aku ingin
Aku ingin dia
Hentikan malam ini, hentikan sejenak
Ketika jarak dan "jarak" tak lagi memisah
Aku ingin menatapnya
Kurekam senyum dan bening matanya
Damai
Andai Engkau ijinkan, dan Engkau kabulkan
Hentikan malam ini, hentikan sejenak
Andai malam sudah terhenti dan terhenti sampai tak ada lagi esok
Aku sudah merekam senyum dan bening matanya
Damai..
Cita tanpa sua
Cinta tanpa sua
Ketika jarak dan "jarak" memisah
Waktu dan ruang adalah penghalang
Taukah, relung meraung
Ketika jarak dan "jarak" tak lagi memisah
Disampingmu, didekatmu, didepan matamu, didekap matamu
Melihatmu, menatapmu, mendalamimu
Lekat-lekat..
Tuhan..
Aku mohon saat ini
Hentikan malam ini, hentikan sejenak
Detikku ingin kuurai bersamanya
Detik demi detik, tak rela sedikitpun terlewatkan
Menatapnya..
Sungguh Engkau Maha Sempurna
Menatapnya..
Tak rela sedetikpun terlewatkan
Aku mohon saat ini
Aku ingin menumpahkan segala rindu yang mencekik
Betapa udara tak memberiku nafas
Aku ingin bersandar dibahu nyamannya
Betapa dunia enggan aku singgahi
Aku ingin mendengar lembut, tegas, canda suaranya
Betapa senyum palsu selalu kuukir demi menahan dera
Aku ingin... aku ingin... aku ingin
Aku ingin dia
Hentikan malam ini, hentikan sejenak
Ketika jarak dan "jarak" tak lagi memisah
Aku ingin menatapnya
Kurekam senyum dan bening matanya
Damai
Andai Engkau ijinkan, dan Engkau kabulkan
Hentikan malam ini, hentikan sejenak
Andai malam sudah terhenti dan terhenti sampai tak ada lagi esok
Aku sudah merekam senyum dan bening matanya
Damai..
Selasa, 14 Oktober 2014
Bahagia itu sederhana
Sangat bahagia itu sangat sederhana
Ingin membahagiakan orang tua?
Sederhana! Iya, sederhana saja.
Kamu hanya perlu berhenti berpura-pura. berhentilah berpura-pura bahwa kamu sudah dewasa. Selagi kamu belum berstatus menantu, orang tua masih punya kewajiban atasmu. termasuk membahagiakanmu dan itu adalah hakmu. Sederhana saja, merengeklah seakan hanya mereka satu-satunya manusia yang punya milyaran kasih, rengkuh dan beri senyuman manis karena kamulah sumber energi disetiap langkah mereka untuk mengumpulkan rejeki. untuk siapa lagi kalau bukan kamu.
Sederhana saja. Membuatmu bahagia adalah bahagia mereka.
Sangat bahagia itu sangat sederhana
Ingin membahagiakan orang tua?
Sederhana! Iya, sederhana saja.
Kamu hanya perlu berhenti berpura-pura. berhentilah berpura-pura bahwa kamu sudah dewasa. Selagi kamu belum berstatus menantu, orang tua masih punya kewajiban atasmu. termasuk membahagiakanmu dan itu adalah hakmu. Sederhana saja, merengeklah seakan hanya mereka satu-satunya manusia yang punya milyaran kasih, rengkuh dan beri senyuman manis karena kamulah sumber energi disetiap langkah mereka untuk mengumpulkan rejeki. untuk siapa lagi kalau bukan kamu.
Sederhana saja. Membuatmu bahagia adalah bahagia mereka.
Senin, 13 Oktober 2014
Pernah kusangka
Gelap duniaku tak berakhir
Nyatanya, seperti mendung tak berarti hujan
Kuduga sebelumnya
Sebuah rasa yang sudah terpatri bahkan hampir mati
Seperti ombak tak berarti tsunami
Memanglah hidup ini musim
Kemarau hujan
Kemarau hujan
Kemarau hujan
Sepanjang tahun
Sepanjang masa
Andai datang hujan
Ingatlah kemarau akan mengering
Jika kemarau datang
Ingatlah hujan akan membanjiri
Kenapa harus takut kemarau memecah
Gelap duniaku tak berakhir
Nyatanya, seperti mendung tak berarti hujan
Kuduga sebelumnya
Sebuah rasa yang sudah terpatri bahkan hampir mati
Seperti ombak tak berarti tsunami
Memanglah hidup ini musim
Kemarau hujan
Kemarau hujan
Kemarau hujan
Sepanjang tahun
Sepanjang masa
Andai datang hujan
Ingatlah kemarau akan mengering
Jika kemarau datang
Ingatlah hujan akan membanjiri
Kenapa harus takut kemarau memecah
Jangan resah hujan membasah
Keringnya kemarau luka, pedihnya hujan air mata
Tak kan selamanya dirasa
Masalahnya, ada pada masa.
Jumat, 10 Oktober 2014
Aku, adalah bulan kepada bumi
Meski jauh, tapi tak pernah pergi
Walau kadang bulan tak penuh dan tak terlihat
Yakinlah bahwa dia ada
Selasa, 30 September 2014
Senja tak selamanya redup
Kemarau tak selamanya mati
Kelam tak selalu membutakan
Lelah memang kadang tak terperi
Sendu menari riang dipelupuk mata
Amarah merekah, jengah, lelah
Aku, sedalam aku kepadamu
Aku, sejauh aku kepadamu
Aku, seindah aku kepadamu
Tapi, indahnya edelweis tak cantik dari permukaan laut
Kemarilah, mendekat
Nikmati indahnya edelweis di puncaknya
Mendekatlah, tanjaki kerikil datar yang meletihkan
Penat yang akan terbayarkan
Maukah kamu?
Aku tak janjikan akan sampai puncak bersamamu
Satu yang harus kamu yakinkan
Indahnya edelweis, itu indah
Indahnya edelweis...
Indah...
Kemarau tak selamanya mati
Kelam tak selalu membutakan
Lelah memang kadang tak terperi
Sendu menari riang dipelupuk mata
Amarah merekah, jengah, lelah
Aku, sedalam aku kepadamu
Aku, sejauh aku kepadamu
Aku, seindah aku kepadamu
Tapi, indahnya edelweis tak cantik dari permukaan laut
Kemarilah, mendekat
Nikmati indahnya edelweis di puncaknya
Mendekatlah, tanjaki kerikil datar yang meletihkan
Penat yang akan terbayarkan
Maukah kamu?
Aku tak janjikan akan sampai puncak bersamamu
Satu yang harus kamu yakinkan
Indahnya edelweis, itu indah
Indahnya edelweis...
Indah...
Jumat, 05 September 2014
Semua bersumber dari aku
Tidak ada yang salah
Kamu, dia, mereka, bukan kalian
Aku yang salah
Aku yang membuat lara ini tak pernah mengering
Aku yang tak berhenti mengukir pedih dengan detail
Aku yang dengan tenangnya menancapkan luka tanpa hirau
Bukan kamu, dia, mereka
Sesak yang aku buat sendiri
Resah yang aku pupuk sendiri
Lelah yang aku rasa sendiri
Bahkan aku muak
Apa yang harus aku tepis
Apa yang harus aku lepaskan
Bukan kamu, dia, mereka
Bukan..
Sampai kapan lelahku, resahku, sesakku..
Tidak ada yang salah
Kamu, dia, mereka, bukan kalian
Aku yang salah
Aku yang membuat lara ini tak pernah mengering
Aku yang tak berhenti mengukir pedih dengan detail
Aku yang dengan tenangnya menancapkan luka tanpa hirau
Bukan kamu, dia, mereka
Sesak yang aku buat sendiri
Resah yang aku pupuk sendiri
Lelah yang aku rasa sendiri
Bahkan aku muak
Apa yang harus aku tepis
Apa yang harus aku lepaskan
Bukan kamu, dia, mereka
Bukan..
Sampai kapan lelahku, resahku, sesakku..
Kamis, 04 September 2014
Sayang...
Aku hanya bisa berdoa
Saat kamu hanya bisa berpasrah
Aku hanya bisa berharap
Saat kamu hanya bisa mengusahakan
Aku hanya bisa bertahan
Saat kamu hanya bisa menjalani
Aku berdo'a
Apapun harapan kita terwujud
Satu persatu, dengan pelan
Tetapi proses bisa kita nikmati
bersama, hingga kelak kita bersatu
Aku berharap
Apapun yang kita cita - citakan bisa kita capai satu persatu
Dengan hati yang penuh suka
Aku bertahan
Apapun yang terjadi, selama aku mampu, akan ku pegang teguh untukkmu
Aku hanya bisa berdoa
Saat kamu hanya bisa berpasrah
Aku hanya bisa berharap
Saat kamu hanya bisa mengusahakan
Aku hanya bisa bertahan
Saat kamu hanya bisa menjalani
Aku berdo'a
Apapun harapan kita terwujud
Satu persatu, dengan pelan
Tetapi proses bisa kita nikmati
bersama, hingga kelak kita bersatu
Aku berharap
Apapun yang kita cita - citakan bisa kita capai satu persatu
Dengan hati yang penuh suka
Aku bertahan
Apapun yang terjadi, selama aku mampu, akan ku pegang teguh untukkmu
Rabu, 27 Agustus 2014
Aku memimpin perjalanan kita
Aku yang paling bersemangat mendaki
Aku bertekad tak kan lelah sampai kepuncak
Sesekali kau siaga memperhatikanku jika nanti aku terpeleset karena aku terus berjalan tanpa melihat terjalnya
Ah.. aku membayangkan sinaran semburat oranye langit yang penuh romansa
Hembusan angin diketinggian yang dingin dan menyejukkan
Hijaunya daun yang tertutup kemilau cahaya sunset yang memikat hati
Burung - burung yang kembali ketempat peraduannya beterbangan
aku, dengan senyum dan keringat berpeluh tetap mendaki dan menggenggam tanganmu
Kita berdua, berjalan mendaki bersama
peluh keluh akan terbayar dengan Mahakarya Tuhan yang tak terdeskripsikan
Sementara langit kehilangan biru, kita terus melaju
Dan... Kaki kita menapak puncak
Kita berpandangan, dan tersenyum puas...
Kau tahu.. Itu akan menjadi hari terindah yang pernah ada.
Denganmu, tentu saja..
Aku yang paling bersemangat mendaki
Aku bertekad tak kan lelah sampai kepuncak
Sesekali kau siaga memperhatikanku jika nanti aku terpeleset karena aku terus berjalan tanpa melihat terjalnya
Ah.. aku membayangkan sinaran semburat oranye langit yang penuh romansa
Hembusan angin diketinggian yang dingin dan menyejukkan
Hijaunya daun yang tertutup kemilau cahaya sunset yang memikat hati
Burung - burung yang kembali ketempat peraduannya beterbangan
aku, dengan senyum dan keringat berpeluh tetap mendaki dan menggenggam tanganmu
Kita berdua, berjalan mendaki bersama
peluh keluh akan terbayar dengan Mahakarya Tuhan yang tak terdeskripsikan
Sementara langit kehilangan biru, kita terus melaju
Dan... Kaki kita menapak puncak
Kita berpandangan, dan tersenyum puas...
Kau tahu.. Itu akan menjadi hari terindah yang pernah ada.
Denganmu, tentu saja..
Jumat, 15 Agustus 2014
“Nanti jangan lupa dimakan ya. Ibu bawakan makanan
kesukaanmu. Tapi cepet – cepet dimakan ya, nanti keburu ga enak.”
Ahh.. ibuku sayang, telur sambal merah buatanmu memang
paling rancakbana deh. Ku masukkan bekal makanan dari ibu ke tasku. Ku cium
tangan ibu dan bapak, berpamitan, dan ku tancap gas bersama si bawel adikku
Roby menuju stasiun. Iya, akau akan mengunjungi eyangku di Ngawi. Aku akan
tinggal beberapa minggu disana, mumpung sedang liburan semester.
Perjalanan yang ku tempuh dengan kereta terasa lebih
nikmat. Mataku dimanjakan dengan pemandangan hijaunya hamparan sawah sambil
sesekali ku lahap telurku. Ku lihat ibu – ibu sedang menanam padi atau
“tandur”, bapak – bapak yang sedang menuai padi rawatannya. Sudah terbayang,
betapa capeknya mereka, kepanasan, pegel- pegel. Besarnya perjuangan mereka
untuk para pengonsumsi nasi. Kadang aku suka merasa prihatin, jika ada temenku
yang membuang begitu saja nasi yang tak habis dimakannya. Dia enak, tinggal menikmati
nasinya tapa harus menanam dan merawatnya. Coba kalau dia tahu prosesnya, pasti
dia akan lebih menghargai. Ku habiskan bekalku hingga butir nasi terakhir untuk
penghargaanku pada petani padi.
Menuju rumah eyang, aku harus menempuh 15 menit lagi dengan
ojek. Sesampainya disana eyang langsung menyambutku.
“Assalamu’alaikum, yang.”
“Wa’alaikumussalam, cah ayu. Sendirian saja kamu, Din?”
“Iya yang, yangkung mana yang?”
“Sebentar, yangti panggil dulu. Kamu istirahat dulu gih!
Udah yangti siapin kamarnya.”
Yangti selalu menyambutku dengan persiapan khusus.
Maklum, aku cucu kesayangan karna aku sering berkunjung. Beda dengan cucunya
yang lain yang tinggal jauh – jauh diluar pulau.
“Andini, sudah lama kamu nak?” sapa yangkung.
“Baru saja kok kung.” Ku raih tangan tuanya yang telah mengukir banyak cerita
seiring usianya yang sudah sepuh, ku cium.
Mereka hanya tinggal berdua. Mereka masih harmonis.
Saling setia, saling menerima satu sama lain, yangkung juga romantis, kata
eyangku. Ahh.. perlu dicontoh.
Adzan Ashar berkumandang, aku bersihkan diri ku temui
sang Maha Cinta. Ku panjatkan syukur atas rahmatNya dan perlindunganNya, aku
bisa sampai Ngawi dengan selamat dan utuh. ^^
Hari pertama di Ngawi yangti mengajak ngobrol masalah
kegiatanku dikampus dan banyak lagi. Waktu terasa cepat berlalu. Adzan maghrib
berkumandang. Tapi, ada yang berbeda, suaranya begitu khas mendayu – dayu.
Subhanallah, merdu sekali. aku terdiam, aku nikmati alunan panggilan Rabbku.
Yangti lalu memanggilku, diajaknya aku untuk ikut sholat berjamaah di Mushola.
Diperjalanan, bersama warga lainnya kutelusuri jalan
setapak berbatu menuju mushola. Ibu – ibu yang berjalan bersamaku terus
menanyakan tentangku kepada yangti. Aku hanya tersenyum cengar cengir sementara
yangti yang menjawab. Hampir sampai di Mushola tujuan kami, ku lihat dari
kejauhan papan nama di Mushola itu. Mushola Ar-Roji’un.
Ketika sampai dan rombonganku masuk mushola, tampak
seorang pemuda lalu berdiri menghampiri microphone, dikumandangkannya iqomah.
Dan ternyata, dialah pemilik suara emas itu. Reflek aku pandangi dia, ya Allah,
tampan.
Aku jadi rajin sholat berjamaah disana. Apalagi yangti
selalu mengajakku, apa boleh buat. Aku tak mungkin menolak. Slalu kunikmati
kumandang adzan pemuda tersebut. Aku tak berani menayakan tentang pemuda itu,
aku malu.
Ahh.. Allah memang baik. Suatu ketika setelah selesai
jamaah, aku keluar mushola. Sambil menunggu yangti didalam yang masih ngobrol.
Aku pandangi langit, ada sinaran bulan sabit yang seakan tersenyum, menerangi
malam. Tiba – tiba ada seorang bapak memanggil seseorang, disebutlah sebuah
nama..
“Nak Arga”
Ku toleh sumber suara dan kulihat sang sang muadzinlah
yang menjawab panggilan itu. Tadaaa… namanya Arga. Aku tersenyum.
Semakin hari, semakin terngiang jelas suara adzan itu. Ya
Allah, perasaan apa ini. Wushh…wushh…wushh..pergilah. mungkin ini perasaan……………………..
aku diam. Ku pikir kata yang tepat untuk melengkapi perkataanku. Hap! Kagum.
Yap, Cuma kagum, bukan cinta. Plaakk!! Ku tepuk jidatku, kenapa ku sebit kata itu.
Aarrghh…!!!
Ya Allah, semakin lama aku semakin tersiksa. Tak bisa ku
sembunyikan perasaan itu. Sampai – sampai yangti bisa tau gerak gerikku.
“Ganteng ya Din. Uda ganteng, suaranya bagus, anaknya
ulet, pekerja keras, tanggung jawab, rajin jamaahan, sholeh, ramah, sopan,
bla..bla..bla..” yangti mencoba mendiskripsikan. Aku hanya manggut – manggut.
Aku semakin berbunga – bunga. Ku layangakan imajinasiku. Andai saja…… humh.. ya
Allah, ampuni hamba.
Tapi hari ini rasanya aku ingin marah pada yangti. Ada
satu hal yang belum dijelaskan yangti padaku. Ternyata mas Arga akan menikah.
Tadi mas Arga datang kerumah mengantarkan undangan walimahan untuk yangti.
Dengan senyum, walau agak ku paksakan ku terima undangan itu dengan tangan
gemetar.
“Mbak Andini juga hadir ya.”
“ohh, iya mas, insyaAllah. Selamat ya mas.” Balasku.
Hariku jadi penuh kabut, kali ini tak ada yang special
ketika adzan mas Arga berkumandang. Yahh.. takdir Allah. Biarlah, tak kusesali
rasa iu pernah ada untuk mas Arga. Terima kasih.
Ku bungkus dua sajadah merah, untuk kado. Ku selipkan doa
untuk keduanya. Ya Allah, tapi sayang
sekali aku tak bisa hadir. Hari walimahannya bertepatan dengan hari
kepulanganku. Kutitipkan kadoku pada yangti, kutitipkan salam dan kata maaf
karna tak bisa hadir.
Didalam kereta, ku pandangi lagi pemandangan hijau
hamparan sawah.
“ya Allah, sediakan untukku seseorang seperti mas Arga.
Bukan hanya suaranya saja yang bisa aku nikmati, tapi juga kasih sayangnya.
Berikan aku satu muadzin, yang sekaligus akan jadi imamku.” Gumamku dalam hati.
Lama lama, Tanpa sadar aku terlelap.
“Hapuslah air mata dipipi dan hilangkan lara dihati. Terimalah,
semuanya adalah bagian dari hidup ini. Dengan kebesaran hati dan jiwa dirimu
akan menemukan apa rahasia dibalik kehidupan yang telah dijalani.
Kelak akan kau rasakan tiada lagi riak kegelisahan dan
keresahan saat sendiri.”
“Kalau orang kaya gitu mah, tinggal nunggu dosanya
menumpuk terus lihat saja besok apa yang akan terjadi. Paling juga bakal masuk
Rumah Sakit lagi. Bisanya saja menginjak – injak harga diri orang.”
“Iya, semua itu kan bakal ada balasannya. Tunggu saja
waktunya. Orang kaya sih orang kaya, tapi kalau kelakuannya seperti itu apakah
pantas. Mentang – mentang orang berada. Kita sebagai orang kecil ya terima
sajalah, paling juga bakal kena batunya. Itu pasti.”
Mendengar pembicaraan
ibu – ibu itu saya langsung berpamitan meninggalkan warung.
“Eh, mau kemana Dek? Kok buru – buru banget.”
“Iya ini Bude, saya sudah selesai belanjanya. Duluan
ya..”
Saya takut terseret dalam pembicaraan yang mulai menjalar
ke masalah seperti itu. Penyakit semacam ini memang susah dihilangkan, dari
pada tertular mending saya langsung menghindar. Saya tahu siapa yang mereka
bicarakan dan apa permasalahannya, tapi saya tidak mau ikut campur. Takut saya
juga kena dampaknya.
Tak akan ada asap kalau tidak ada api. Tidak ada akibat
kalau tidak ada sebab. Sakit hati lah yang memicu pembicaraan Bude Yati dan
Bude Tini. Bude Yati adalah korbannya. Bude Yati pernah curhat dengan saya,
beliau percaya saya akan menjaga permasalahan ini dan tidak ember. Beliau
bercerita tentang sakit hatinya kepada Pak Yahya yang suka menyindir keluarga
beliau, halus, tapi sadis. Beliau bercerita dengan raut wajah yang memelas
seakan ribuan jarum menusuk hatinya. Kalau saya yang berada diposisi Bude Yati,
mungkin hal yang saya rasakan sama.
“Pak Yahya itu, gila hormat banget Dek. Waktu aku sedang
diluar sama anakku yang paling kecil, dia lewat, jelas kan dek, aku langsung
menyapanya. Sekali dua kali dia lewat didepan rumahku dan aku masih menyapanya.
Tiga kali empat kali dia lewat, aku diam dan sibuk dengan anakku. Tahu ga
Dek, dia itu lewat dan nyeletuk, ‘kalau
jadi orang itu yang sopan, andhap asor, murah senyum, ga Cuma ditekuk saja
mukanya, banyak pikiran sih banyak pikiran, tapi ya lihat lihat situasi.’ Dia
berkata seperti itu sambil lewat didepanku. Bayangkan Dek, masa iya aku harus
selalu menyapanya tiap dia lewat, kurang kerjaaan banget kan? Mending kalau jangka waktu dia lewat itu agak lama,
lha kalau sliwar sliwer kaya gitu apa iya aku harus selalu menyapanya. Sekali
dua kali kan cukup kan Dek. Aneh.” Bu Yati menghela napas.
“Ya Allah Dek, salahku itu apa, aku juga tidak pernah
meminta kekayaannya. Aku juga tidak pernah mengusik kehidupannya, tapi dia itu
seakan pengen membuat keluargaku itu rendah. Memang, aku keluarga yang biasa
saja, tapi apakah pantas dia menginjak – injak harga diri keluargaku. Jadi
orang kaya kok sombong. Bisanya hanya bikin orang sakit hati. Aku memang orang
miskin dek, tapi kalau aku punya uang pasti akan aku bayar hutang, tapi sabar. Wong
aku yang punya hutang kok dia yang ribet. Sering dia mengungkit ungkit masalah keluarga ku kalau
sedang ada acara arisan keluarga atau perkumpulan lain lain. Padahal kita itu
masih ada hubungan darah lho dek, masih satu trah. Ya beginilah dek kalau
posisi lagi terhimpit, adanya cuma dijadikan mainan orang orang punya. Aku
bisanya ya cuma sabar kan dek, wong sabar bakalan menang kan dek.”
Saya tersenyum melihat ketegaran Bude Yati. Tapi yang
jadi masalahnya adalah cara beliau mengungkapkan kekesalannya. Beliau malah bercerita
dengan Bude Bude yang lain, jadilah mereka menjadikan hal itu sebagai ajang
bergosip. Dan kalau sudah kesal, akhirnya doa doa tidak baik yang terlontar.
Astagfirullah.
Kesenjangan sosial memang menjadi masalah yang kompleks
di dalam bermasyarakat. Sebenarnya kalau antara dua posisi tersebut ada suatu
komunikasi yang baik, hubungan antara mereka juga baik. Memang kekayaan sering
membuat orang tinggi hati dan suka memandang sebelah mata orang yang biasa
saja. Tapi tidak semua seperti itu, walaupun hanya segelintir saja. Kesadaran
akan saling bersosialisasi, toleransi, tenggang rasa, dan saling menjaga
perasaan mulai menipis sehingga hal – hal seperti itu mulai menjadi jamur
dimana – mana.
Saat saya sedang santai dengan suami saya, anak – anak
sudah tidur, saya buka obrolan dengan bertanya apa pendapat Mas tentang masalah
Bude Yati.
“Sebenarnya itu sudah jadi Icon nya orang kaya kan dek,
menginjak yang kecil. Tapi tidak semua seperti itu. Yang jelas, pasti ada sebab
intern dari Pak Yahya, mungkin juga tidak cuma itu yang jadi masalah Pak Yahya.
Wong semua orang juga tahu kan dek, Pak Yahya itu seperti apa. Sebagai yang
muda, yang lebih paham ya mencoba memaklumi saja, kalau kita menentang justru
kita jadi sasaran berikutnya. “
“Iya juga ya Mas.” Aku coba menelaah kata – kata Mas dan
menyambungkan dengan masalah Bude Yati.
“Tetanggga itu kan saudara kita yang paling deket kan
dek, kalau ada apa – apa pasti larinya juga ke tetangga. Kita belajar dari
pengalaman Pakde Sugi saja, ketika istrinya jatuh kemarin, tidak ada yang
langsung menolong. Soalnya dia angkuh sama tetangga, sulit tegur sapa, tidak
berusaha menjalin hubungan baik dengan yang lain. Di perkumpulan bapak – bapak
itu saja dia tidak pernah berangkat. Ga atau alasan yang jelas itu apa. Jadi ya
begitu, tak banyak orang yang simpati sama dia. Kalau saja dia tidak datang ke
rumah pak RW untuk minta tolong, mungkin dia bakal jadi duda. Kasihan kan?” Mas
menataku dengan raut penuh tanya dan menanti jawaban. Aku mengangguk.
“Kalau saja setiap orang menanamkan rasa saling
menghormati, tenggang rasa, toleransi, saling menghargai, saling menjaga
perasaan, mempunyai rasa persaudaraan yang erat, Mas yakin kasus seperti Pak
Yahya, Bude Yati dan Pakde Sugi tidak akan terjadi. Tapi setiap orang berbeda –
beda, ada yang sadar dan tidak. Juga satu yang paling penting, keimanan. Orang
seperti apapun kalau sudah punya iman yang kuat pasti semua akan rukun. Mungkin
yang jadi faktor selanjutnya masalah kerohanian. Masyarakat kita kan paling
terbelakang kan dek dibanding masyarakat desa lain. Tidak ada kegiatan
keagamaan di desa kita, kalaupun ada itu jarang sekali, bahkan mungkin setahun
sekali, pas bulan Ramadhan saja. Yang terpenting adalah kita tanamkan rasa itu
pada diri sendiri, kita mulai dari keluarga sendiri setelah itu kita tularkan
ke yang lain.” Mas lalu menyeruput teh buatanku dan pamit ke kamar mandi.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Barang siapa
beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menghormati
tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia
memuliakan tamunya”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].
Beribadahlah kepada Allah dan janganlah
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang
tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan
tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki.
Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.
[an-Nisâ`/4:36].
Mereka cantik sekali, meskipun tidak ada pembeda diantara
mereka. Warna, bentuk dan cara memakainya sama. Ya iyalah, seragam sekolah. Manis, rapi, anggun dan aman. Tidak sepertiku
yang masih memakai rok pendek. Ah, cantik! Aku selalu terpukau melihat adik
kelas, teman – temen ku atau kakak kelas yang memakai jilbab. Bagaimana pun
bentuk wajahnya dimataku mereka cantik. Iya, cantik!
Kebetulan, teman main, ngumpul, ngerjain tugas dan kemana
– mana kebanyakan berjilbab. Jadi jika
aku berjalan bersama mereka hanya aku yang belum tertutup, masih bisa dikonsumsi publik. Ngeri! Sebelumnya sih, aku
biasa saja, tapi aku seperti orang asing jika dilihat. Seperti bukan golongan
mereka. Bahkan aku pernah dikira non muslim ketika bersama teman – temanku,
karena aku tidak berjilbab sendiri. Ternyata, jilbab adalah identitas.
Rasa kagumku semakin bertambah, rasanya sejuk melihat
orang berjilbab. Aku tak pernah memakai jilbab kecuali di pengajian atau saat
bepergian jauh. Ah, terlalu! Aku pernah memakai jilbab, sekali, karena aku lupa bawa seragam pramuka, aku cuma memakai
seragam olahraga. Aku pinjem temenku, tapi dia berjilbab. Tak apa, sekali –
kali bikin sensasi. Dan responnya bagus uey, pada bilang aku cantik. Ahay! Aku
sendiri juga nyaman memakainya. Gejolak untuk berjilbab akhirnya tumbuh. Aku
mulai cerita pada temanku tentang niatku untuk berjilbab. Dia mendukung. Tapi
bukan hanya dukungan yang aku butuhkan kawan, tapi seragam dan jilbabnya! Aku
tanya dengan seorang sahabatku, dia bersedia meminjamiku rok osis dan seragam
pramuka plus jilbabnya. Alhamdulillah. Allah tahu yang ku mau.
Yang jadi masalah adalah, seragam identitas sekolah. Tak
ada yang punya. Aku cari sana sini, tanya temen temen yang lain, hasilnya
nihil. Ya Allah, saya niat banget loh ini, mudahkanlah. Eits, doa ku
dikabulkan, cepet banget kan? Kalau niat baik itu pasti akan dipermudah
jalannya. Suatu hari, aku bermimpi, ada seorang temenku yang mempunyai tetangga
yang dulunya adalah alumni sekolahku. Berbekal petunjuk bunga tidur itu, walau
percaya dan tidak aku iseng – iseng tanya temanku yang ada di dalam mimp itu.
Ternyata tidak ada. Tapi, jangan sedih dulu, justru yang punya adalah teman
sebangku teman yang aku mimpiin tadi. Alhamdulillah! (lagi). Yes! Lengkap
sudah. Sekarang kemana- mana kau akan lihat aku dengan teman - teman ku sama. Manis, rapi, anggun, dan
cantik. Hehehehe.
Itu cerita ku saat aku kelas dua. Kali ini berbeda cerita
saat aku kelas tiga. Ini ujian! Untuk foto ijasah, banyak teman temanku sendiri
memilih melepas jilbabnya. Temenku sendiri . Yang aku jadikan cermin. Waw!
Alasannya sih katanya kalau melamar kerja foto ijasah harus tidak berjilbab
walau kesehariannya berjilbab biar kelihatan bentuknya (ga ada cacat maksudnya).
Di satu sisi ingin menunjukkan wajah sempurna, satu sisi ini adalah aurat, jadi
harus ditutup. Ternyata aku galau juga. Tapi kok gitu sih? Alasan klasik. Aku
ga mau, aku ga mau lepas. Aku perjuangannya susah loh. Aku tetap memakai
jilbab. Toh, rejeki Allah yang atur, pasti ada pekerjaan yang bisa ku dapat
tanpa harus melepas jilbabku. Jepret, selesai.
Sambil menunggu hasil kelulusan, saatnya hunting job. Aku
sudah siap melamar kerja di suatu perusahaan di Jakarta. Tapi, ternyata ibu
tidak mendukung. Alasannya karena jauh, takut ga ada yang ngawasin pergaulanku
disana. Sedikit protektif. Akhir kata, nurut sajalah. Akhirnya ada saudaraku
yang menawarkan pekerjaan untukku, tempatnya di Jogja. Katanya gaji di Jogja
dan di Jakarta yang tadinya mau aku lamar itu sama. Jelas dong pilih yang
deket. Tapi syaratnya, ga boleh pakai jilbab, soalnya itu bos nya Chinese, jadi
kalau mau berjilbab kalau uda pulang atau pas di kost. Jleb, ujian kedua, duh
Gusti! Ibu semangat mengomporiku untuk kerja di Jogja, udah deket, ada
asramanya, proses masuknya nanti bisa dipermudah dengan adanya mbakku disitu,
gaji gede pula. Hiks.. tapi jilbabku.. aku terpaksa mengiyakan tawaran itu. Memang
lowongan kerja di sekolahku masih banyak, tapi tidak lebih baik dari yang di
Jakarta sama di Jogja, kata Ibu, “Eman”. Baiklah bundo, nurut sajo lah.
Karena sudah dijamin sama mbakku, aku santai melenggang
menunggu pengumuman. Ngapain ribet, aku dah dapet kerja. Hohoho. Deg – degan
banget nunggu pengumuman, bagaimana hasilnya ya? Aku ngerjain sendiri loh,
kalaupun nanti hasilnya jelek ga papa deh, aku usaha sendiri. Nilai ku tetep
bagus dimata Allah, itu hasil kejujuranku. Ecieeeh…. Tapi deg – degan ku nambah
nih, mbak ku bilang sama Ibu ku, ternyata masih nunggu sekitar tiga bulanan
lagi kalu mau daftar ditempat kerja mbakku, nunggu ada yang keluar dulu dari
situ dan aku ceritanya buat cadangan. Bah, lama kali. Tiga bulan, trus aku
ngapain dong selama itu. Singkat cerita, gantian aku yang kalang kabut cari
kerja. Temen – temen ku uda ada yang berangkat kerja sebelum pengumuman tapi
aku bingung sendiri. Nah loh!
Mau daftar dimana ya? Telat, uda pada tes semua. Pasti
kalian tanya kenapa ga kuliah? Ga ada ongkos euy, makanya mau kerja dulu,
insyaAllah kalau ada kesempatan lanjut kuliah. Eits, balik lagi ke pekerjaan.
Aku masih belum dapet. Putus asa. Sedih, nyesel. Kenapa dulu aku ngga sambil
daftar yang lain yang. Huhuhu. Yah,
namanya penyesalan datangnya di akhir, kalau di awal namanya pendaftaran,
katanya sih gitu. Tapi, sekali lagi,
niat baik pasti akan ada jalan keluarnya.
Suatu hari, aku ke ruangan Konseling dan bertemu dengan
bu guru BK. Ternyata disitu aku disuruh nyebarin info lowongan kerja di suatu
pabrik sarung tangan. Tapi bukan jadi buruh, yang dibutuhkan pas bagian
administrasi. Pas banget saudara! Aku lagi butuh kerjaan tiba – tiba ada
lowongan kerja baru. Sesuatu banget ga tuh! Alhamdulillah (sekali lagi). Tanpa
basa basi aku siapkan segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk melamar kerja
di pabrik itu. Dengan penuh semangat tentunya. Semoga allah berikan yang
terbaik.
Dan, benar saja. Setelah melewati proses panjang, tes ini
itu, akhirnya aku diterima. Di-te-ri-ma! Subhanallah. Aku dan temenku berdua yang diterima disitu.
Terima kasih ya Allah. Dan, satu lagi nikmat yang Allah beri untukku. Disitu tidak
ada ketentuan khusus dalam berpakaian, ini artinya bebas dong. Aku bebas
berjilbab. Iya, berjilbab! Allahu akbar!
Betapa Allah menyayangiku. Hanya karna aku ingin
mempertahankan jilbabku Allah memberikan kemudahan untukku. Yang terpenting
sekarang adalah bagaimana aku memperbaiki hati dan akhlakku agar seimbang dengan pakaian yang aku kenakan. Ketika aku
pakai jilbabku, aku merasa nyaman dan aman, tidak sembarangan orang bisa
melihat kecantikanku. Terkadang aku merasa miris ketika aku melihat perempuan
dengan pakian minim – minim. Aku jadi ingat ketika aku dulu belum berjilbab.
Betapa banyak orang yang dengan bebas melihatku, bentuk tubuhku, rambutku yang
tergerai yang pastinya menimbulkan pikiran yang sedemikian rupa, ada yang
beristighfar atau bahkan ada yang menikmatinbya. Astagfirullah betapa rendahnya
aku.
Bukan kah menutup aurat itu suatu keharusan? Jangan
menunggu hidayah Allah untuk berjilbab. Tapi jemputlah dengan penuh harap dan
ketulusan. Niscaya Allah akan permudah segala hal yang diniatkan untuk
kebaikan. Dengan jilbab kita akan terlindung. Bahkan banyak yang mendoakan
kita. Kok bisa? Iya. Kalau kita lewat di depan orang dengan pakaian yang minim,
banyak yang godain, tapi berbeda kalau kita berpakaian rapat, rapi dan
berjilbab, justru mereka mengucapkan salam. Apakah kamu pernah mengalaminya? J aku sudah.
Berjilbab, hal yang wajib untuk setiap muslimah. Untuk teman
– teman yang belum berjilbab segera berjilbablah, temukan segudang rahasia
indahnya yang tertutup itu dan sekian banyak keajaiban – keajaiban sehubungan
dengan jilbabmu. Beda orang beda cerita tentunya. Bagi saudariku yang sudah berjilbab semoga
Allah selalu menetapkan hati kita agar selalu beristiqomah berada dijalanNya.
Tetap jaga keimanan, perbaiki akhlak dan semangat menggapai ridhonya. Aamiin..
Ups, kepanjangan ya. Hehehe. Alhamdulillah, Aku bersyukur
kepada Allah atas nikmatnya , atas pekerjaan dan jilbabku. Semoga barokah. J aamiin
Itu pengalamnku dengan jilbabku saudara, semoga
bermanfaat. Salam manis dari yang manis.
Nyanyian merdu ayam jantan menggema di sela – sela
sinaran mentari yang menghangatkan. Ku dengar Ayah mulai memanasi bebek
kesayangannya yang biasa beliau pakai ke kantor, Ibu bercengkrama dengan piring
piring kotor yang sesekali ku dengar suara air gemercik dari keran. Aku yang
masih di zona nyamanku sesekali menarik selimut dan masih ingin ku rajut mimpi,
ku lirik jam dinding Angry bird ditembok kamarku.
“Astagfirullah.. Ibu…….” aku loncat kemudian lari ke
kamar mandi.
“Ibu, kok ga bangunin Hasna sih.” Teriakku dari kamar
mandi sambil gosok gigi.
“Makanya sehabis Subuh itu jangan tidur. Kamu kan udah
gede juga, masa iya Ibu harus melulu bangunin kamu.”
“Ahh. Ibu. Nanti kalau Hasna telat bagaimana?”
“Emang biasanya gitu kan?”
“Hehehehe. Khilaf bu.”
“Khilaf kok tiap hari, seharusnya kamu bisa belajar dari kesalahan hari kemarin.”
“Khilaf kok tiap hari, seharusnya kamu bisa belajar dari kesalahan hari kemarin.”
“Iye..iye.. paham bu.” Aku menyadari ada sesuatu yang
janggal.
“IbuUuUuUu………………………….”
“Apa?”
“Tolong ambilkan handuk Hasna ya. hehehe. Ibu cantik
deh.“
***
Handphone ku berdering. Chika sms.
“Miss Late, buruan brangkat, ulangan Bu Indri lho. Uda
bljar kan? Awas kalo nanti nyontek tak bunuh qm!!.”
Alamak, astagfirullah. Matematika!
“Chika sayang yg aduhai, tolong dibantu-bantu yak, Q…
ngg..…. Hehe” ku balas smsnya sembari menunggu mobil jemputanku datang. Mobil
angkot.
Dia membalas, “NO WAY! Pasti g’ bljar lg ea? Awas qm ya!”
Tak usah aku ragu lah, dia kan teman yang tidak akan tega
melihat temannya menderita gara – gara rumus mematikan. Seperti kebanyakan
siswa di sekolah – sekolah, aku alergi dengan pelajaran ini. Lihat soalnya saja
sudah bersin – bersin. Aku lebih suka mentranslet satu buku modul Bahasa
Indonesia menjadi bahasa Inggris dari pada mengerjakan Matematika. Hhuft!
Tiada hari tanpa terlambat. Pak Jack sudah siap – siap menutup gerbang sekolah,
nama aslinya sih Pak Joko, tapi biar lebih keren dan singkat aku selalu
memanggilnya Pak Jack. Pak Satpam yang paling akrab denganku. Karena apalagi
kalau bukan keseringan telat kemudian beliau hafal denganku.
“Buruan Cah Ayu! Eits, benerin dulu itu jilbabnya,
compang – camping.”
“Ga papa Pak, yang penting ayu.”
“hahahha, yowis yowis, buruan masuk.”
Ku keluarkan jurus seribu bayanganku, menerobos parkiran,
melewati kelas satu, melintasi kantin bu Kamti. Bu Indri sudah sampai setengah
perjalanan ke kelasku, alamak! Ku tambah kecepatan langkahku ku tuju pada
jendela kelas paling ujung belakang.
“Dina..Dina.. woy, ini tolong dong tasku masukin, lempar
ke Chika, cepet!!.” Tak ku hiraukan wajah kecut Dina yang ikhlas ga ikhlas tetap
melakukan hal ini hampir setiap hari, aku yakin dia jengkel plus jenuh. Bu
Indri sudah sampai di kelas. Ku atur irama nafasku, tenang.. tenang, ku
langkahkan kaki ke ruang kelas.
“Permisi Bu..” Sambil ngap-ngapan.
“Iya, masuk.”
Yes..yes..yes, Bu Indri tidak menyadarinya. Hohoho. Tapi,
penderitaanku belum berakhir. Aku harus siap – siap menerima gencatan senjata
dari Chika. Dia lebih galak dari Bu Indri. Matanya melotot padaku, tajam! Tapi
seketika itu dia menulis sesuatu dan menyodorkannya padaku.
“Kali ini kau selamat! Untung aku lagi sakit gigi, jadi
tidak bisa mengomelimu secara habis habisan, tapi tunggu saja, setelah aku
sembuh, omelanku hari ini akan aku akumulasikan untuk hari berikutnya. Hahaha…
aduuhh -_-.. “ ku pandang wajah Chika,
ku coba tahan tawaku, Chika melihatku sambil mengepalkan tangannnya. Ups! Aku
kelepasan.
“Hasna, ada apa?” tanya Bu Indri.
“Eng..eng..nggak ada apa apa Bu, hehehe.”
“Baiklah, semuanya sudah siap? Keluarkan kertas! Ingat,
hanya ada selembar kertas, alat tulis saja yang ada si atas meja, semua
buku dimasukkan. Untuk coret – coretan
Ibu beri satu buram untuk satu anak. Jelas?”
“Jelas Bu..” jawab anak – anak satu kelas.
Alamak. Aku lupa, ini dia hantunya. Ku toleh Chika,
ternyata sakit giginya juga merubah sifat malaikatnya menjadi malaikat pencabut
nyawa.
“Chika, please.” Ku pasang wajah memelas dan sesekali ku
kedipkan mataku. Dia mulai menulis jawaban.
“NO WAY! KERJAIN SENDIRI!”
Ku tepuk jidatku. Chika, tunggu pembalasanku!
***
“Bagaimana ulanganmu tadi?” tanya Chika dengan suara
lirih menahan rasa sakit.
“Sukses!” mukaku kecut.
“Hahahahaha…haduh.. lebih baik ngerjain satu tumpuk soal
matematika dah daripada sakit gigi. Eh iya, tadi Ibu Eni nitip pesan untukmu,
hari Senin besok kamu ga boleh terlambat, beliau mohon dengan sangat, demi nama
baik mu dan Bu Eni. Parah Lu, Bu Eni sampai segitunya. Jangan kecewain beliau!”
“Iya? Bu Eni bilang gitu? Waw, Bu Eni memang baik hati,
malaikatku.”
“Yeee, Iya, Bu Eni memang malaikatmu tapi kamu setan di
mata Bu Eni. Hahahahha..haduh..”
“Diem ajaaaa, nanti kamu ompong gara- gara ketawa terus..
baiklah Bu Eni, akan ku buktikan!”
“Semoga berhasil anakku.” Chika menepuk bahuku.
***
“IbuUUuuuUuu…………. Kok listriknya dimatiin??” aku paling tidak bisa tidur dengan keadaan gelap, meski dalam keadaan lelap pun kalau lampu mati aku pasti akan terbangun. ku lihat baru jam 4 pagi.
“IbuUUuuuUuu…………. Kok listriknya dimatiin??” aku paling tidak bisa tidur dengan keadaan gelap, meski dalam keadaan lelap pun kalau lampu mati aku pasti akan terbangun. ku lihat baru jam 4 pagi.
“Katanya suruh bangunin, buruan bangun, bantu – bantu
ibu.” Sebelumnya aku sudah berpesan kepada Ibuku untuk membangunkanku hari ini,
dan beliau berhasil. Aku berpesan kepada orang yang tepat.
“Ibu, ngantuk.”
“Hasnaaaa!!!!”
“Iyaaa..Iyaaaa.”
Alhamdulillah, berkat ibu aku berhasil berangkat pagi.
Dan tidak terlambat, rekor MUI, kata Pak Jack. Setahuku Rekor MURI bukan MUI.
Bu Eni menyambutku gembira, dengan mata berkaca – kaca, Chika memelukku, ini
pada kenapa sih, berlebihan.
Hari Senin, upacara bendera dilaksanakan. Setelah Pembina
upacara selesai memberikan amanatnya, sang protokol membacakan acara
selanjutnya, tapi kali ini berbeda.
“Pengumuman – pengumuman.” Sontak suasana menjadi riuh.
Pasti akan ada berita baru. Pak Iqbal yang membacakannya.
“Alhamdulillah, segala puji bagi Allah telah memberikan
rahmatnya untuk sekolah kita. Seminggu yang lalu, sekolah kita dan 2 sekolah
lain mewakili kota Malang untuk ikut lomba debat bahasa Inggris di tingkat
Nasional. Alhamdulillah juara satu.” Suara tepuk tangan riuh membahana di
lapangan sekolah. Pak Iqbal kembali melanjutkan.
“Dan, dengan bangga saya panggil wakil dari sekolah kita
untuk maju dan menerima penghargaan. Untuk saudari Hasna Nuraini, silakan ke
depan.”
Chika memelukku erat, dia menangis dan teriak – teriak,
sakit giginya sembuh. Dina yang selama ini ketus padaku memberi ucapan selamat.
Ku tapaki jalan menuju mimbar, ku lihat semua orang tersenyum padaku sambil
tepuk tangan. Sampai mimbar, aku tak percaya berada disini, ratusan pasang mata
menatapku gembira. Aku menangis terharu, ketika aku menerima piagam dan trophy
semuanya bertepuk tangan untukku. Ketika ku angkat trophinya sambil tertawa dan
terharu tepuk tangan semakin riuh. Segala puji bagi engkau ya Allah. Tapi,
tangisku tak tertahankan ketika melihat sosok di paling belakang dengan seragam
hitam putihnya sambil mengangkat dua jempol untukku, Pak Jack. Hanya engkau
yang tak bosan menegurku kala terlambat.
Sekarang, yang ada dihadapan kalian bukanlah Miss Late.
Dia lah pemenang debat bahasa Inggris, jadi jangan cepat menyimpulkan sesuatu pada
orang lain. Jangan hanya pandang sebelah mata. Aku bukannya sombong, tapi
berhati – hati lah saat kamu memandang seseorang, jangan pernah menganggap
rendah. Kamu tak pernah tahu, justru dia punya nilai lebih darimu. Berhati –
hatilah kawanku.
“Happy Birthday to you.. happy birthday to you.. happy
birthday..happy birthday.. happy birthday to you”. Kamu dengan wajah lugumu
tampak malu – malu dan tak bisa menyembunyikan rasa senangmu saat kakak bersama
bapak dan mamak yang menggendong aisyah menghampirimu. Matamu tertuju pada kue
kecil dengan dua lilin yang menyala, itu kejutan untukmu sayang. kakak juga rasakan
kebahagianmu.
20 Maret 2006 lalu kamu dilahirkan, saat itu kakak masih
kelas 6 SD. Kakak dulu sangat menantikan kehadiranmu, di kelas kakak melamun
memikirkanmu. Apakah kamu sudah menatap indahnya dunia, Atau kamu masih tidur
dirahim mamak. sewaktu kakak pulang, simbok memberi kabar. Simbok yang menunggui
mamak berjuang demi kamu. kata simbok kamu cantik dek.
“matanya cemlirit, kinclong.” Kata simbok pada kakak
dengan wajah yang ceria.
Rambutmu lurus, matamu bening dengan bulu mata yang
lentik, dan pipi yang cabi. Tahu ga dek kenapa pipimu cabi? Soalnya ibu dulu ga
suka sama si tikus Jerry yang jahil sama Tom. Itu sejarahnya, dan karena itulah
kakak memanggilmu Gembul. Sampai saat ini. Semua orang bahagia menyambutmu,
keluarga bapak yang dari Magelang datang dengan serombongan bis demi
menengokmu.
Kakak ga kesepian lagi dek, rumah juga sekarang ramai
dipenuhi suara tangismu. Kakak mulai belajar mengurusi mu, mengganti popokmu,
menggendongmu, mencoba membuatmu tersenyum. Kakak temani setiap gerakmu, setiap
pertumbuhanmu, perkembanganmu. Saat kamu sudah mulai bisa tengkurap sebelum
masanya, merangkak, dan kamu sudah bisa berjalan sebelum usiamu setahun. Semoga
kamu jadi anak yang cerdas dek. Aamiin
Dek, ini bukan perayaanmu yang pertama loh. Ingat kan
dulu waktu kamu umur 4 tahun, kakak kelas 1 SMK. Pagi – pagi sekali kakak
membangunkanmu, kakak sudah siapkan satu roti isi coklat yang harganya
seribuan, Gerry coklat pasta, coklat warna warni lima ratusan itu, satu lilin
putih besar yang kakak potong jadi
beberapa bagian kemudian kakak tusuk dengan lidi biar bisa nancep di rotinya,
terakhir korek api. Kita rangkai bersama roti ulang tahun sederhanamu. Kita
tempeli roti dengan coklat warna warni dan coklat pasta sebagai lemnya. Kamu
tancapkan lilinnya kakak yang menyalakan. Kamu tampak bahagia. Tahu ga dek,
kakak sisihkan uang jajan kakak selama beberapa hari untuk kejutan kecil itu.
Maaf ya dek, kakak ga bisa kasih lebih.
Kamu semakin besar. Kakak ingat waktu kamu tidak mau
kakak tinggal pergi sekolah, saat itu bapak sama mamak kerja, simbok ke sawah
sama mbah kakung. Biasanya kamu pergi main ke rumah Ardi, tapi hari itu kamu
menggelayuti kakak dengan air mata dipipimu, akhirnya kakak ijin tidak masuk sekolah.
Semakin hari kamu semakin cerdas, tapi juga nakal. Tapi wajarlah, anak – anak.
Lama – lama kakak kesal, kakak semakin sering terlambat
sekolah gara – gara menungguimu mandi. Saat itu kamu sudah masuk TK. Mamak
mengantar kakak sambil membawamu karena jalur sekolah kita searah, supaya mamak
tidak bolak balik. Semuanya semakin repot saat Aisyah lahir, 25 November 2011.
Posisimu tergeser dek, karena kami sudah menanggapmu besar, kamu dicuekin. Kamu
sering mengeluh, “opo – opo adek, opo –
opo adek, sitik – sitik aisyah digendong, aku ora.” Sambil manyun kamu terus
mengomel. Kakak hanya tersenyum dan mencubit pipimu. Gembul sayang, dulu kamu
juga diperlakukan seperti itu waktu kamu kecil. Sekarang kamu sudah gede
sayang, belajarlah mandiri.
Kamu mulai ribut minta diajari menulis, minta buku ini
itu, minta pewarna, sering minta jajan. Tingkahmu semakin beragam. Kamu mulai
tanya yang aneh aneh, sebenarnya tidak aneh, tapi hal yang kamu tanyakan itu
adalah hal yang belum kamu mengerti dan belum saatnya kamu mengerti. Kakak
sering bingung bagaimana cara menjelaskan jawabannya kepadamu, kakak juga tidak
mau membiasakan diri memberikan keterangan palsu agar kamu cepat diam.
Kakak paling senang kalau kamu menangis saat kakak
menjahilimu, kamu sangat takut gelap. Kakak mulai suka tertawa saat kamu
mengucap kata terbalik – balik. Yang
bikin terharu itu dek, kamu pernah ga makan jajanan yang dikasih bapak gara
–gara nungguin kakak. Kakak pernah memukulmu karna membuat aisyah menangis.
Kakak pernah memarahimu karna kamu ga bisa – bisa ngerjain soal matematika PR
dari gurumu. kakak membentakmu saat Kamu minta di temeni bobok saat kakak masih
asyik nonton tivi. Kamu yang mendesak – desak tidur kakak, kakimu kamu sepakkan
ke perut kakak, tanganmu tak pernah lepas dari telinga kakak, supaya kakak
tidak pergi meninggalkanmu. Kamu teriak teriak saat waktu subuh tiba kamu tidak
mendapati kakak disampingmu. Ahh kau Mbul, bikin gemes.
Kamu ingat kan dek, tiap habis magrib kamu selalu standby
menunggu kakak sesesai sholat, kamu bawa Iqro dan bertanya sampai halaman
berapa. Kakak tertawa saat kamu mikir lama, dengan ekspresimu yang kacau itu.
Kamu tertawa saat kakak memonyongkan bibir kakak saat mengucap huruf Zho untuk
mencontohkanmu. Kakak mulai kesal saat kamu bingung mana huruf Kho dan huruf
Gho. Tetap giat ya dek, kakak ingin kamu jadi anak yang cerdas dan sholeha.
Rasanya kakak ingin sekali mendampingimu belajar terus
agar kamu lebih dari kakak. Apa daya dek, kakak juga masih belajar, belajar
menjadi contoh yang baik untukmu, juga aisyah. Belajar jadi sholeha agar kelak
bisa kamu contoh, belajar berbakti ke orang tua agar kamu juga mengikuti kakak.
Jangan pernah kesal ya dek kalau kakak tidak
sabar menghadapimu.
Di usia mu yang masih 7 tahun ini de, Kakak harap semakin
tahun kamu semakin cerdas, semakin pintar sekolahnya, pinter ngajinya, semakin
rajin , selalu diberi kesehatan. Belajar giat, supaya kamu bisa jadi guru
seperi yang kamu cita citakan. Paling juga besok cita cita mu berubah, heheh.
Gembul, sebenarnya kakak tidak ingin merayakan ulang
tahunmu. Takut kamu akan menagihnya untuk tahun tahun berikutnya. Soalnya,
ulang tahun ga harus dirayakan dengan kue sebagai bentuk kasih sayang kami.
Tapi selalu yang harus kamu ingat dek, kasih sayang kami tidak tercurah saat
hari ulang tahunmu saja. Tapi setiap hari.
Selamat ulang tahun dek. Besok kalau kamu sudah mengerti,
akan kakak jelaskan bagaimana cara yang manfaat merayakan ulang tahun, dan apa
makna ulang tahun yang sebenarnya.
Jono: "Eh Joni, lihat tuh. ceweknya cantik
buangeettt... gila.. :o "
Joni: "Siapa? ohh, itu. iya ya, cantik banget.. tapi
tau ga Lu?"
Jono: "Ape, Joni?"
Joni: "Dia tuh dah punya suami, anak orang tajir bro..
kalah Lu sama dia."
Jono: "Ahh.. kalah dong Gue ya.. Dia sih lahir duluan..
makanya ketinggalan deh dapetin tuh cewek.."
Joni: "yeeee... Elu tuh yang lahirnya belakangan..
(sambil noyor)"
Jono: "ehh.. dia yang keduluan......."
Joni: "Elu yang belakangaaannn... (nabok)"
Jono: “kok lo jadi anarkis sih.. dia yang lahirnya keduluaa
a a a a an..(pencet hidung Joni)”
Joni: “Elu lancang ya… (mukul kepala Jono pake asbak)”
Jono: “GILA… sakit broooo.. (lempar helm)”
Joni: “eeettttdahhh… jambret Lu..sakit.. (tak berdaya)”
Jono: “haha, nah Lu, oke deh Gue emang lahir belakangan..
tapi Lu mati duluan.. byee.. (pencet hidung Joni sampai tak sadarkan diri)”
Tapi…..
Jono: “Kok… :/
Jon…. Jonii… Joniii… (Jono mengoyak –koyak tubuh Joni)
tidaaaaaaaaaaaaa a a a akkkkk!!!!!!!
Joni: (mencoba membuka mata) “Gue belum mati, kupreettt”
Jono: “ohh.. belum ya.. yaudah (pencet hidung Joni lagi)”
Joni: “ka..kaa..kaa…mpreett..preett.. Lu.. (memejamkan
mata)”
Jono: “Jon.. Jonii… bangun Joni.. (mengecek hidung) Joni…Lu
udah matiii?????
Joni: “udah”
Jono: “TIDA A A A A A A A A AKKKKK ! ! ! ! ! ! ! “
Pukul 22.35 semua lampu ruangan kumatikan kecuali kamarku.
Aku tak bisa tidur kalau kamar gelap. Meskipun Abang protes terus tapi dengan
rayuanku akhirnya dia kalah. Abangku hanya manggut – manggut dan suka mencubit
pipiku.
Kulihat Abangku langsung terlelap. Mungkin dia lelah. Mulai
hari ini setelah mengajar jam sekolah Abang member materi les, soalnya UN akan
segera dilaksanakan. Abangku seorang guru Bahasa Inggris di SMA Negeri Surabaya.
Aku belum bisa tidur. Lama aku menatap langit – langit
kamar. Berkali – kali ku lihat jam, waktu lama sekali berputar. Aku bolak –
balik posisi tidurku berharap mendapat posisi yang nyaman. Hasilnya nihil. Ya
Allah..
Ketika ku balik badan ke arah Abangku, sejenak aku
menatapnya. Ku lihat wajahnya yang bulat dengat jenggot tipis didagunya. Ku
nyamankan posisiku, ku pandangi Abangku lekat – lekat, aku tersenyum. “Mungkin
ini sudah skenario dari Allah. Aku tak pernah menyangka bisa berada diposisi
ini. Menatap Abang, bisa seranjang dengan Abang, kenapa bukan orang lain.
Inilah takdir.” Gumamku dalam hati.
Iya, aku tak pernah menyangka. Entah, kenapa aku bisa
menikah dengannya. Tiga tahun berlalu. Memang perkenalan kami cukup singkat,
lima bulan. Setelah masa itu Abang nekat melamarku. Ku tanakan pada ibu dan
kakak perempuanku. Kakakku menjawab,
“Kalau tidak ada alasan untuk menolak kenapa tidak.”
“kalau ayah sama ibu setuju saja, dia dari keluarga baik –
baik, agamanya juga bagus. Benar kata kakakmu” Imbuh ibuku.
Dengan berbagai pertimbangan akhirnya ku iya kan lamaran
Abang. Semula aku terkejut, kok Abang seperti ini. Sikapnya, sifatnya jauh dari
apa yang aku bayangkan. Sama sekali dia bukan tipeku, bukan dambaanku. Awal –
awal penyesuaiannya agak susah, tapi lama – lama aku mulai nyaman.
Tapi walaupun begitu aku sayang sama Abang dan akan terus
menyayanginya. Tahun pertama pernikahan kami allah menghadiahkan seorang putri
cantik. Kami beri nama Fathiya Azzahara. Dia begitu mirip dengan Abang, mukanya
bulat. Tapi matanya mirip denganku, belo dengan bulu mata yang lentik. Cantik
sekali. Alhamdulillah ya Allah, semoga dia kelak jadi wanita yang sholeha,
cantik luar dalam. Aamiin.
Aku teringat beberapa hari yang lalu. Hari itu dan tiga hari
kedepan, kantor ditempatku bekerja akan diadakan training. Aku ikut serta
didalamnya. Jam 08.30 acara dimulai. Ketika pintu masuk terbuka semua mata tertuju
pada tiga orang yang memasuki ruangan. Ada dua laki – laki dan satu perempuan.
Mereka lalu berkenalan dan memulai training.
Entah kenapa aku semangat menjalani training itu. Aku begitu
antusias. Salah satu trainernya lah yang membuatku semangat. Dia bernama Indra
Lukmana. Umurnya 27 tahun selisih lima tahun denganku. Aku melihat dia sebagai
sosok yang sangat berwibawa diusianya yang masih tergolong muda, tegas, penuh
semangat, suka humor, cerdas dan kharismatik. Sepertinya pemahamannya tentang
agama juga bagus. Selalu aku tertegun saat memandangnya. Ini lho idamanku.
Suasana selalu ramai jika dia yang mengisi trainingnya. Dia
selalu berhasil membuat bercandaan yang tidak garing. Semua orang simpati
kepadanya. Pokoknya dia bisa membuat hariku berseri disaat training. Tapi
memang tak bisa dipungkiri emapt hari training membuatku lupa akan Abangku.
Membuatku berangan – angan andai dia yang jadi Abangku, sesuai keinginanku.
Astaghfirullah…astaghfirullah!! Ampuni
hamba ya Allah. Seketika langsung ku sms Abangku, kutanya dia, sedang
apa. Demi membunuh pak Indra di otakku. Terus seperti itu, ketika aku teringat
pak Indra ku sms Abangku.
Tak terasa aku menangis, ku usap – usap kening Abangku. Ku
tatap matanya yang tengah terpejam. Takdir Allah memang indah. Andai saja aku
dijodohkan dengan orang yang aku dambakan yang sesuai dengan keinginanku pasti
aku tidak akan menjadi seperti ini. Pasti aku akan manja, dan semua hanya datar
karena semua berjalan lurus. Tapi kalau dengan Abangku, aku bisa belajar
bagaimana menghadapi sifatnya yang cuek, tidak peka, tidak perhatian, suka
jahil tapi jatuhnya pasti aku marah, tidak mau mengalah dan disalahkan. Pernah
kami berselisih paham namun tidak lama, karena aku paham emang Abang seperti
itu. Kami diciptakan untuk saling melengkapi, dan dari situ aku belajar
memahami dan menanggapi sifat Abang. Semua sudah digariskan untukku.
Waktu menunjukkan pukul 23.15, mataku terasa berat. Ku kecup
kening Abang, tenang Bang, tetap kaulah
yang kucinta. Ya Allah, terima kasih.
Siapa sih yang mau jadi orang tidak kaya? Siapa sih yang
mau jadi orang susah? Siapa sih yang mau hidup berkekurangan? Kamu? Dia?
Mereka? Atau aku? Tidak! Sama sekali bukan sebuah mimpi, bukan sebuah cita –
cita, bukan sebuah keinginan, bahkan dengan membayangkan semua itu saja rasanya
sudah menderita. Tapi apa daya sih, posisi itu memang ada, banyak! Aku kalau
disuruh memilih, aku pasti tidak akan mau memilih posisi itu. Mau apalagi deh,
semua sudah jadi jalanNya kok, mungkin lebih tepatnya hasil dari perbuatan yang
telah lalu. Mungkin pendidikan orang tua yang rendah jadi pekerjaan yang
didapat juga tidak bisa menghasilkan uang banyak. Aku tidak mau menyalahkan
orang tua ku. Karna pasti orang tuaku sebenarnya juga tidak mau berada di
posisi ini.
Sebagai anak dari keluarga yang “sederhana” yang
kehidupannya biasa – biasa saja aku mencoba memaknainya secara bijak. Mau
mengeluh tuh rasanya ga bisa. Melihat orang tuaku saja rasanya sudah kasian
kalau aku mau berkeluh kesah. ayahku, lelaki hebat penakluk segala musim, dari
musim tanaman apa saja tangan kuat ayah ikut andil dalam penggarapannya. Tapi
bukan tanaman kami sendiri. Ayahku seorang buruh tani. Ibuku.. ibu rumah tangga
biasa, tapi sering kali ibu juga ikut ke sawah misal ada yang minta jasanya,
nanem padi, buruh tanaman tembakau atau lain – lain. Itu pun kalau ada yang
butuh jasanya. Aku, anak sulung sekaligus anak bungsu, alias semata wayang. Ga
punya saudara euy, ga ada hiburan, ga ada yang diajak saling berbagi. Tapi,
syukurlah, ibu dan ayah jadi tidak berat untuk membiayai sekolahku.
Besok senin uda mau ujian kelulusan, entah ujian praktik,
uas, unas. Sebenarnya aku sudah siap menghadapi itu semua, belajar oke, badan
uda fit, peralatan siap. Tapi ada satu hal yang aku benci dan aku takut
menghadapinya. Masalah administrasi, aku takut menghadap ayah ibu. Tapi mau
bagaimana lagi, itu syarat sahnya ikut ujian. Huuhhffhht!
“oohh, ya besok diusahakan ndug. Ayah masih punya gabah
beberapa karung, besok biar digilingke ibumu, biar dijual berasnya, sebagian
buat makan sehari – hari. Kalau masih kurang ya nanti ayah carikan.”
Ayah, aku akan buktikan, akan aku tuntaskan segala
penderitaan ini. Kalau pun ayah mau tetap bertani,biar hasilnya ayah tabung ya.
Doakan aku.
Ayah, Ibu, doa kalian terkabul. Setelah selesai ujian,
aku mengikuti tes di salah satu Perusahaan. Tak ku sangka, tak ku duga, tak ku
nyana, aku lolos. Padahal, aku tak berharap banyak bisa diterima disitu. bayangkan
saja, tes bidang akademik aku tidak bisa ngerjain. Memang, aku kurang pintar di
bidang itu. Tapi, mungkin ini rejeki kita yah, bu. Ini jawaban dari
permasalahan hidup kita. Kita sudah saatnya bangkit dari keterpurukan. Dan tau
ga yah, bu, mulai minggu depan aku dah mulai kerja, padahal pengumuman
kelulusan belum dilaksanakan. Subhanallah walhamdulillah walaa illahaillallah
wallahu akbar.
“Yah, ini ada sedikit tabungan Nabil buat ayah. Buat
benerin motor ayah aja, buat servis.” Ayahku menerimanya dengan mata berkaca –
kaca. Aku segera berlalu agar air mata ku tidak tumpah didepan ayah. Sudah 6 bulan
aku bekerja, Alhamdulillah aku bisa menabung untuk aku berikan kepada ayah dan
ibu. Kembali Allah menurunkan berkahnya untukku. Baru 6 bulan bekerja
perusahaan tempatku bekerja sudah mengangkat ku sebagai pegawai tetap. Karena
mereka menilai kinerjaku sangat bagus dan bisa diandalkan. Ketika ibu ku
mendengar kabar itu beliau langsung bergembira, ini buah dari prihatinmu selama
ini nak, ibu bilang begitu padaku.
“assalamu’alaikum mbak Nabil, apa kabar? Sekarang kuliah
atau kerja mbak? Dimana?” sms dari adik kelasku.
“wa’alaikumussalam wr wb, Alhamdulillah baik dek.
Kamu? Sekarang aku kerja dek, di
perusahaan X, di Solo. Kamu bagaimana sekolahnya?” balasku.
“Alhamdulillah baik juga mbak. Wuah, langsung kerja ya
mbak, hebat. Beruntung banget. Hehe. Sekolahku lancar aja kok mbak, mulai bulan
ini sudah mulai Prakerin.”
“biasa saja dek, mungkin sudah rejekinya. Ohh, yang rajin
sekolahnya ya.”
“iya mbak, sip. Mbak kasih tau dong kiat biar bisa langsung
dapet kerja.”
“wuadu, gimana ya dek. Kalau yang aku lakuin dulu sih
Cuma do’a sama usaha. Sholat yang rajin, abis itu do’a yang bener dan
konsisten, dulu aku doa’anya gini dek, ‘ya Allah golongkanlah hamba sebagai
anak yang selalu beruntung, dekatkanlah jodoh hamba yang sesuai hati nurani
hamba, dan mudahkanlah hamba mencari pekerjaan setelah lulus sekolah nanti’ itu
aku doaku dari kelas satu sampai dapet kerja dek, Alhamdulillah makbul.
Terserah kamu sih dek format doanya mau yang bagaimana. Hehe. usahanya juga
harus kenceng ga boleh ngeluh. Gitu aja sih, ga ada kiat khusus kok. ”
“ohh, siap deh mba.
makasih banyak ya mbak.. besok aku sms lagi ya.”
“iya dek.”Itu sms ku sama adik kelasku. Katanya dia
ngefans sama aku. Entah apa yang dia kagumi dariku. Aku sendiri tak mengerti.
Ada lagi temenku yang bertanya tentang kiat ku mendapat
pekerjaan dan bisa langsung jadi pegawai tetap.
“Nabil, kok kamu beruntung banget sih. Belum lulus dah
dapet kerja, sekarang sudah jadi pegawai tetap. Enak banget ya.”
“hehe, Alhamdulillah. Rejeki sudah diatur, kamu juga
beruntung kan udah bisa kerja.”
“iya juga sih, tapi kerjaan kamu lebih enak, ringan dan
gajinya juga lumayan.”
“Alhamdulillah, ga ada yang instan. Semuanya melalui
proses.”
Iya, proses. Bersakit sakit dahulu bersenang senang
kemudian. Ingat kan peribahasa itu. Sebelum aku merasakan bahagiaku saat ini,
sebelumnya aku menelan perihnya hidup dulu. Di hidupku yang dulu serba
“sederana” mengajariku tentang banyak hal. Terutama bersyukur. Dulu waku masih
sekolah, temen temen pada naik motor, aku naik sepeda. Tapi aku bersyukur,
selain bisa sekalian olahraga, juga ngirit ongkos. Sekadar menghibur hatiku. Dulu, aku sama
sekali tak punya banyak uang, sekalinya aku bisa nabung, pasti sudah habis
untuk fotocopi lah, beli ini itu lah. Habis. Pokoknya dulu tuh serba susah. Tapi
justru itu semua yang mndekatkanku dengan
Allah dan keberuntungan itu. Aku mulai puasa senin kamis, rajin dhuha,
tahajud, lebih menghargai apa yang aku punya, selalu khusnudzon pada Allah. Aku
juga ikut organisasi osis dan rohis. Yah, penngalamanku tambah banyak, lebih mengerti
tentang berbagai karakter, dan dari situ aku mulai bisa percaya diri kalau aku
bisa. Selama berorganisasi melatihku untuk jadi jiwa yang bisa bertanggung
jawab, mandiri, bisa diandalkan, dan tidak gampang mengeluh, ada masalah
langsung hadapi. Selesai.
Mungkin itu yang jadi pertimbangan perusahaan saat
menerimaku jadi pegawai. Aku sudah mempunyai keterampilan dan bisa dipercaya.
Segala puji hanya bagi Allah. Sekarang tinggal ku nikmati hasil nya dan terus
berjuang, inilah awal dari perjuangan yang baru. Selalu mudahkan langkah hamba
ya Allah. Terima kasih atas segala kesusahan yang engkau limpahkan kepada
hamba, ini menjadikan hamba lebih mengerti tentang makna hidup. Jangan jadikan
hamba sebagai jiwa yang sombong yang Allah atas apa yang telah hamba peroleh,
lindungi hamba dari sifat kikir, dan golongkanlah hamba sebagai hamba yang
pandai bersyukur, aamiin.
Digolongkan sebagai orang yang beruntung, sudah. Dapet
kerja juga sudah, tinggal jodohnya yang belum. Do’a yang kenceng lagi, Nabil……
^^
Meski gerimis kami tetap melanjutkan perjalanan menuju
tempat incaran kami. Setelah perut kenyang dengan bakso hasil icip – icip di
tempat yang sudah kami rencanakan sebulan yang lalu, kami pergi ke swalayan
yang tak jauh dari tempat makan kami tadi. Oh iya, perkenalkan, nama ku Aliya.
Aku pergi bersama Isna. Kami satu kantor di salah satu perusahaan di Surabaya.
Mumpung hari ini hari Sabtu dan jam ngantor juga hanya setengah hari aku dan
Isna jalan – jalan. Aku mengantar dia beli ikat pinggang incarannya.
“Ga ada nih Ya, cari ke tempat lain yuk?”
“Yakin ga ada? Tangan hampa dong. Sini deh liat barang – barang yang lain dulu.” Ku layangkan pandanganku di deretan baju – baju. Aku ambil satu, dan cocok. Bungkus!
“Yakin ga ada? Tangan hampa dong. Sini deh liat barang – barang yang lain dulu.” Ku layangkan pandanganku di deretan baju – baju. Aku ambil satu, dan cocok. Bungkus!
“Kok malah jadi aku yang belanja sih?”
“haha, yuk cari tempat lain. Kita ke Mall aja, sambil jalan – jalan. Yuk, cuss!”
“haha, yuk cari tempat lain. Kita ke Mall aja, sambil jalan – jalan. Yuk, cuss!”
Kami memang suka jalan – jalan berdua tiap akhir bulan.
Tau kan maksudnya? Entah pergi ke pasar tradisional untuk cari makanan enak
atau pergi ke mall dan berjalan – jalan hanya sekadar melihat – lihat. Tapi ada
satu yang jadi makanan wajib kami, “Es Krim”. Yes, ice cream. Makanan satu ini
emang tak ada matinya, semua umur gemar memakannya, kecuali yang ga gemar. Hoho
Setelah muter – muter, bolak – balik, naik turun mall,
akhirnya ketemu barang incaran Isna. Dan acara selanjutnya adalah hunting es
krim. Yummy! Es krim Mc Donald choco top, es krim vanilla dicelup ke coklat
hangat trus nanti coklatnya beku karena kena es krim, ulala.!. Kami cari tempat
ternyaman untuk menikmatinya. Mulai deh, kalau cewek ngumpul, apa sih yang
dibicarakan. Sudah bisa ditebak kan?
“eh Ya, aku galau nih, gimana dong. Aku takut terlalu
berharap sama Mas Agung. Dia tuh ga jelas maunya apa, ga enak tau digantungin.
Aku butuh kepastiaaaaan..” dia lampiaskan kekesalannya dengan melahap eskrimnya
hingga belepotan.
“haha, dasar ababil. Kalau ga jelas ya udah diemin aja.
Ga tegas banget sih tuh cowok. Mumpung
belum terlanjur jauh.”
“iya juga sih. Tapi susah Ya, cowok kaya Mas Agung tuh ga banyak. Aku takut ga nemuin lagi.”
“iya juga sih. Tapi susah Ya, cowok kaya Mas Agung tuh ga banyak. Aku takut ga nemuin lagi.”
“xixxii, dasar cuplis. Jangan risau deh, jodoh kita itu
cerminan kita, jadi perbaiki diri terus, banyak doa, yakin deh, cowok seperti
apapun yang kita inginkan pasti kita dapat. Orang yang baik itu untuk yang baik,
begitu juga sebaliknya.”
“Nah loh, dakwah deh.”
“Isna sayang, itu penting dan harus di ingat. Daripada kita pusing mikirin cowok yang ga jelas pangkal ujungnya, mending kita fokus ke jalan hidup kita, memperbaiki diri.”
“Nah loh, dakwah deh.”
“Isna sayang, itu penting dan harus di ingat. Daripada kita pusing mikirin cowok yang ga jelas pangkal ujungnya, mending kita fokus ke jalan hidup kita, memperbaiki diri.”
“Iya – Iya. Injih. Eh, gimana Mas Ilyas?”
“Maksud loe? Please deh, jangan sebut dia. Dia memang idamanku, tapi aku juga tak tau apa yang dia rasakan padaku. Mending menerima apa adanya Mas Kiki, walaupun kadang ngeselin, tapi kita saling melengkapi. Coba kalau aku sama Mas Ilyas, aku bakal ketergantungan dan tidak mandiri. Intinya adalah, apa yang kita pikirkan baik untuk kita belum tentu baik untuk kita, dan begitu juga sebaliknya.”
“baiklah Nyai, paham. Pulang yuk. Tapi mampir sholat di kantor dulu ya.”
“Maksud loe? Please deh, jangan sebut dia. Dia memang idamanku, tapi aku juga tak tau apa yang dia rasakan padaku. Mending menerima apa adanya Mas Kiki, walaupun kadang ngeselin, tapi kita saling melengkapi. Coba kalau aku sama Mas Ilyas, aku bakal ketergantungan dan tidak mandiri. Intinya adalah, apa yang kita pikirkan baik untuk kita belum tentu baik untuk kita, dan begitu juga sebaliknya.”
“baiklah Nyai, paham. Pulang yuk. Tapi mampir sholat di kantor dulu ya.”
Jalanan padat merayap. Maklum weekend. Kami manfaatkan
saja waktu itu untuk berbincang – bincang.
“ga nyangka ya kita bisa bareng – bareng gini. Inget ga
waktu dulu kamu pertama kali masuk kerja, kita kan ga saling kenal, tapi Allah
mempertemukan kita. Ingat waktu dulu kita berkenalan, waktu tes kita saling
berpandangan, “aku ga bisa.” Aku waktu itu pesimis banget. Hanya ada 3
kemungkinan, aku dan kamu, kamu dan Tia atau Tia dan aku yang akan diterima.”
Oceh Isna.
“haha, iya tuh sama. Dulu aku tuh dah pasrah, plus angkat
tangan. Bayangakan saja, surat menyurat. Sama sekali bukan basicku. Aku bener
bener bersyukur banget, memang uda rejeki kita kali ya.” Jawabku menyetujui
kalimat Isna.
“Tepat sekali.”
Dan ternyata banyak sekali persamaan kami, mulai dari
ketakutan kami dulu dalam berpakaian, soalnya dulu kerja ga boleh pakai jeans,
padahal baju kerja kami ga punya, baru lulus sekolah soalnya. Lalu, soal
kegiatan kami waktu dulu, kami suka terlibat dalam organisasi sekolah, kesamaan
kami tentang masalah selera makanan, masalah keuangan, keadaan rumah. Dan lain
sebagainya. Saking konsentrasinya kami ngobrol, tak terasa sudah sampai kantor.
Kami masih melanjutkan pembicaraan kami.
“Eh, rencana kita batalin dulu yuk. Kalau mau pergi
liburan bareng keluarga kita tunggu sampai keajaiban bonus tiba saja. Kantong
kempis nih.” Kataku.
“Bener nih, budget jadi obrak abrik nih gara – gara beli
barang tak terduga. Emang uang mu buat apa kok uda sekarat?”
“Uda masuk pos masing – masing. Hehehe”
“Sama nih, uangku uda aku kasih ibu.”
“Eh, Is. Pernah ga kamu berangkat kerja ga bawa uang
sepeser pun? Saking keringnya kantong.”
“Iya tuh, pernah. Kalang kabut deh. Kadang aku juga bawa
uanng kantor sih, jadi aman kalau buat jaga – jaga.”
“Jiah, mending tuh. Aku tuh pernah dan hampir seperti itu
tiap akhir episode. Bayangkan saja. Tapi aku sih cuek saja. Yang penting bensin
full. Nanti kalau bensin abis, atau ban bocor, atau motor mogok tinggal datang
ke bengkel. Gampang kan?”
“Trus bayarnya?
“Tinggal bilang saja. ‘Pak atau Mas, ini saya tidak bawa uang sama sekali. hp saya saya tinggal saja ya, nanti saya ambil. Atau Mas mau KTP saya, No hp, atau alamat. Udah, gampangkan.”
“Tinggal bilang saja. ‘Pak atau Mas, ini saya tidak bawa uang sama sekali. hp saya saya tinggal saja ya, nanti saya ambil. Atau Mas mau KTP saya, No hp, atau alamat. Udah, gampangkan.”
“Hahaha, dasar. Ga gitu juga kali..” Isna tertawa dengan
nada girang.
“Loh, ya harus gitu dong. Tapi percaya atau tidak,
alhamdulillah wasyukurillah terima kasih ya Allah, sama sekali hal itu belum
terjadi. Apapun kalau niatnya ikhlas karna Allah, insyaAllah dijaga dan dijamin
keselamatannya. Aku kan niatnya Ikhlas mau kerja cari rejeki buat ibu bapak
adik kakek nenek, dan Allah membantuku. Hebat kan.”
“Bener sekali. Kuasa Allah memang nyata.”
“Semoga menambah kuat iman kita. Ketika harta kita tak
punya, jangan pernah risau dan takut. Dengan Allah cukup. Meski kantong bolong
kosong blong, yakin saja Allah tak pernah lengah penjagaanNya. Jika dari hati
niat tulus ikhlas karena Allah, pasti semua akan dimudahkan. Cukup Allah yang
ada dihati. Memang sih kedengarannya klise, tapi kalau sudah dibuktikan dan
sudah merasakan manisnya kasih Allah, yakin deh, semakin kita akan mendekat
dengan Allah. Bukankah hidup bersama Allah itu begitu indah? Jadi, kalau pas ga punya uang itu aku ga
pernah mengeluh, hanya aku adukan kepada Allah. Semoga Allah memberikan
kemudahan dan keselamatan tiap langkahku. Gitu aja. Trus, aku juga punya amalan
setiap berada diperjalanan. Dengan membaca Istigfar, sholawat, tasbih, tahmid,
takbir, tahlil. Nanti tau tau uda nyampe kantor. Sungguh, Maha Besar Allah.
Jadi merinding nih. Buruan sholat yuk, aku dah ditunggu ibu.”
“Siap bu Nyai. Heheh. Luar biasa.! HASBUNALLAHU WA NI'MAL WAKIL,
NI'MAL MAULA WA NI'MANNASHIR
NI'MAL MAULA WA NI'MANNASHIR
Cukuplah Allah menjadi Penolong
kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.
Hawa panas mulai merangkak seiring berputarnya waktu. Jam
setengah tiga giliran kami. Sudah satu jam kami menunggu. Tapi anak – anak tak
menghiraukannya, yang penting sebentar lagi naik odong odong. Tapi bukan odong
odong nya anka balita ya. Bentuknya tuh kaya sepeda dengan empat kendali. Aku,
dipaksa anak anak untuk menemani mereka, sebagai sopir. Bayangkan saja, Laras,
Rika masih kelas satu SD, Alifah, Rossi kelas 3 SD. Kalau mereka ga ada yang
jagain sungguh “mbebayani”.
Sebelumnya aku ga boleh sama ibu. Tiwas kesel, katanya. Tapi
kalau menolak ajakan anak anak rasanya aku jahat banget, merenggut kebahagiaan
mereka, aseek.. ^^ . tapi bener, capek berat. Tapi demi adikku dan temen
temennya, ga apa lah, sekali ini. Dijalan mereka melimpahkan kendali sepenuhnya
padaku. Aku yang masih amatir jelas gugup. Ini masalah nyawa, 4 anak ada
ditanganku. Tapi syukurlah, semua berjalan selamat walaupun hampir terjun
dikali tepian sawah. Tapi gurat wajah senang mereka membunuh penatku.
Satu jam sudah berkeliling dengan odong-odong. Waktunya
pulang. Kembali aku pegang 4 nyawa anak, aku bonceng anak –anak dengan bebekku,
Laras di depan tiga anak lainnya dibelakang. Sesampainya dirumah tiga anak itu,
aku disambut ibu mereka. “matur nuwun ya mbak”. Dengan raut sumringah. Waw,
mungkin mereka berterima kasih demi anak anaknya aku rela bercapek capek ria.
“ohh, nggih mbak sami-sami”. Aku dan Laras langsung pulang, haus sangat.
Bebekku aku parkir, langsung aku lari kedapur, “air..air..aiirr. mana air”
Semenjak nonton acara Islam Itu Indah di TransTV, tentang
menyayangi anak yatim dan anak anak kecil, aku jadi mulai antusias dengan anak
anak dan mulai suka dengan anak – anak. Apalagi sekarang aku punya adik kecil, semakin banyak peluang untuk
praktik. Hehe. Aku lupa apa yang disampaikan ustad Maulana, tapi ini aku
carikan kutipan lain. J
Membahagiakan anak adalah tabir neraka, dan
menjadi tebusan dosa. karena itu perhatian terhadap keluarga harus selalu kita
utamakan. Bila tidak, boleh jadi keluarga kita akan menjadi sumber fitnah.
Dan dalam
Al-Qur’an Surah al-Anfal ayat 28, Allaah Swt. telah berfirman yang artinya:
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Oleh karena
itu kemudian Rosulullaah Saw. berpesan:
“Cintailah anak-anak dan kasih sayangilah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanya kamulah yang memberi mereka rizki.”
“Cintailah anak-anak dan kasih sayangilah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanya kamulah yang memberi mereka rizki.”
“Barangsiapa
menjamin untukku satu perkara, aku jamin untuknya empat perkara. Hendaklah dia
bersilaturahiim (berhubungan baik dengan keluarga dekat) niscaya keluarganya
akan mencintainya, diperluas baginya rizkinya, ditambah umurnya, dan Allaah
memasukkannya ke dalam surga yang dijanjikan-Nya.”
“Mbak, Prameks satu.”
“Silakan mbak, sepuluh ribu.”
“Terima kasih.”
Ku perhatikan tiketku. Disitu tertera jam berangkat
kereta, pukul 15.17. ku lihat jam tanganku, pukul 13.23. masih lama.Ku tapaki
lantai konblok kotak – kotak kecil menuju deretan tempat duduk di ruang tunggu.
Masih sepi. Ku lihat hanya dua orang, pasangan suami istri nampaknya, sekitar
usia 50an tahun.
Ku pilih kursi yang akan ku jadikan tempat membuat waktu
selama kurang lebih dua jam. Dan takkan ku relakan waktuku berlalu begitu saja.
Ku rogoh tasku dank u ambil buku untuk membunnuh waktu. Ketika perjalanan jauh
barang itu teman terbaikki menghabiskan detik demi detik. Toh, dengan catatan
bacaan itu yang bagus dan bermanfaat.
Ku buka lembar demi lembar. Disela – sela itu terlihat
mulai banyak berdatangan calon penumpang yang akan bepergian. Entah ingin
berangkat atau pulang ke tempat tujuan masing – masing. Sesekali angin sepoi –
sepoi berlari pelan membawa sapuan debu dan beberapa tissue. Tissue? Masih ada
saja orang yang tidak tahu letak tempat sampah. Tapi kalau tidak ada orang
seperti itu petugas kebersihan tidak akan makan. Ya sudahlah.
Mata ini bergerak otomatis teruju pada gerak lanngkah
orang ang menuju ruang tunggu. Ku lihat seorang laki – laki membawa tas ransel
besar yang kelihatannya penuh barang di bahu kirinya dan tangan kanannya
menjinjing kardus biscuit bertali rafia hitam, mungkin dia baru atau akan
mudik. Beberapa saat kemudian seorang bapak – bapak sekitaran 45 tahun keatas
usianya. Dengan ransel dipunggung, memakai topi, dibawanya Koran, sambil ia
berjalan dengan diiringi lagu Judika Akulah yang Kau Sakiti dari ponselnya. Ku
perhatikan bapak – bapak itu, dibolak – bolik korannya sambil sesekali melongok
ke ponselnya. Ternyata dia sadar kalau sedang aku perhatikan, ditatapnya aku
dan aku mengangguk pelan dengan senyum terkejut.
Lalu mulai berdatanganlah para calon penumpang lain. Ibu
– ibu yang membawa barang belanjaan, mbak – mbak dengan jilbab rapid an
ransenya, mungkin seorang mahasiswa. Nenek dengan anak besera cucunya, pasangan
muda suami istri dengan bayi mungilnya, mas – mas, bapak – bapak sengan gaya
masing – masing. Ruang tunggu mulai penuh.
Saat ku rasa mata ini lelah membaca, ku lihat jam dinding
di sebelah kanan ruang tunggu dan tergantung sendirian disana, jam 14.25. masih
lama lagi. Ku istirahatkan mataku sejenak dank u putar – putar pandanganku. Ku
lihat arah depan, terarah pada pasangan suami istri yang berumuran setengah
abad tadi. Dengan memberi kode kepada sang istri, dimintanya untuk menggarukkan
punggung. Romantis sekali. aku tersenyum.
Ku alihkan pandanganku. Kini tertuju pada ibu – ibu dan
anak – anak sekitar 2-4 tahunan. Sang ibu dari anak yang duduk di deretan kiri
paling depan nomor dua terlihat mengulurkan makanan kepada anak yang duduk di
depannya. Terlihat wajah sumringah dari adik kecil itu sembari tangan mungilnya
menerima sepotong biscuit.
“Bilang apa dek? Terima kasih mbak.”
Dengan senyum yang mengembang diucapkanlah kata itu pada
ibu yang berbaik hati kepada anaknya. Aku kembali tersenyum, keramhan, saling
berbagi dan ketulusan masih bisa ku temui.
Aku kembali menatap berderet – deret kata digenggamanku.
Kali ini terdengar dari belakang kursiku pembicaraan seorang bapak – bapak
dengan seorang yang nun jauh disana
lewat telepon. Dari logatnya dia berasal dari luar Jawa. Suaranya keras
memekakan telinga. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Yang jelas suaranya
sedikit membuatku kaget.
Angin yang tadinya semilir sepoi – sepoi kini berbah
menjadi liar. Semakin kencang mengusik dedaunan dan mengayunkan ppohonan. Udara
dingin menyapa. Tak hanya itu, angin juga menggiring awan – awan mendung
beruntun. Mungkin karena awan – awan itu terbawa dengan kencang dan
berbenturan, mereka mulai menangis menjadi rintik – rintik gerimis, lalu hujan
mulai bergemuruh.
“Perhatian – perhatian. Jalur tiga – jalur tiga, kereta
dari arah timur, kereta Prameks dari arah timur tujuan Kutoarjo Yogyakarta,
silakan untuk calo penumpang untuk mempersiapkan diri, perhatikan barang bawaan
anda, selamat jalan dan teerima kasih.” Semua orang bergegas.
Alhamdulillah tak perlu aku berputar – putar mencari
krsi. Begitu aku masuk ku temukan ruang kosong. Ku nyamankan dudukku. Kali ini,
ku dapati pandangan yang membuatku merasa iri. Tak jauh dari tempat dudukku,
ada penumpang warga Negara asing. Ku lihat dia sedang berbincang dengan seorang
ibu – ibu mungkin sekitar 40 tahunan. Lancar sekali bahasa Inggrisnya. Seusia
itu? Tapi tampaknya ibu itu juga orang yang berpendidikan. Terlihat dari buku
yang dia bawa, VITRIFIVATION IN ASSISTED
REPRODUCTION. Bukunya tebal sekali, aku tak mengerti itu buku tentang apa. Awal
– awal aku mengerti apa pembicaraan mereka. Ibu itu menanyakan dari mana bule
itu, tapi tak terdengar jawabannya yang samar – samar itu olehku. Setelah itu
aku tak mengerti apa pembicaraan mereka. Sesekali ku lihat si ibu seperti
mendeskripsikan sesuatu dengan gerakan tangannya. Tak jaang mereka tertawa,
mungkin ada yang lucu diperbincangan
mereka. Akrab sekali.
Aah.. pasti asyik sekali bisa berbincang dengan orang
asing memakai bahasa internasional. Jujur, aku iri sekali. ku kernyitkan
dahiku. Ku tanya pada diriku, apa kabar bahasa Inggrisku ya? Dulu sempat
lancar, sekarang? Beginilah ilmu yang didapat tapi tidak dipraktikan dan diamalkan.
Terbang bersama wakru tanpa nilai. Ya Allah, ampuni hamba.
Langganan:
Komentar (Atom)
Kiriman Lainnya
-
▼
2014
(38)
-
►
Agustus
(14)
- Aku memimpin perjalanan kitaAku yang paling bersem...
- Rindu Suara (Yang) Adzan Di Mushola Ar-Rojiun
- My Lovely Neighbor
- Jangan Ragu Berjilbab
- Miss Late!
- Pesan Kakak Untuk Laras
- LU YANG MATI DULUAN!!!!
- Kau Bukan Yang Ku Mau
- Ini Kekuatan Do’aku, Bagaimana Kekuatan Do’amu?
- Bagaikan Pinang Dibelah Kapak
- Sayang Adik Sayang Adik!
- Oleh – Oleh Dari Stasiun Purwosari
-
►
Agustus
(14)
Paling Disukai
-
Akhirnya, kita bertemu lagi. Setelah satu musim memisahkan kita. Antara rasa rindu dan jarak, kita berada ditengahnya. Antara sapa dan...
-
“Mbak, Prameks satu.” “Silakan mbak, sepuluh ribu.” “Terima kasih.” Ku perhatikan tiketku. Disitu tertera jam berangkat kereta, puk...
-
Semesta bertasbih mengagungkan asmaNya Tak lengah detik demi menit Betapa karunia yang melimpah Mereka tidak pernah mengeluh dengan...
-
Sampai ditempat, aku seperti seorang fakir miskin yang menghadap kastil megah. begitu merasa kerdil, tapi sangat bahagia. Kemudian seoran...
-
ada langit ada bumi sisi kanan dan sisi kiri kadang hujan kadang kemarau sepi satu padu padan mengiringi adakala suka merasuk adakala duka ...
Diberdayakan oleh Blogger.


