Senin, 22 Desember 2014




Just a little thing. :)







Kamis, 13 November 2014

     Akhirnya, kita bertemu lagi. Setelah satu musim memisahkan kita. Antara rasa rindu dan jarak, kita berada ditengahnya. Antara sapa dan gengsi, kita berada tepat ditengah keduanya. Rasa rindu menatap mata yang jika menatap hilang segala rasa risau. Menatap dan mendengar. Mempekerjakan mata, telinga dan hati dilengkapi dengan seluruh perhatian untuk menjadi saksi hari-hari yang menakjubkan. Rasa lega yang akan menjadi pelipur hati ketika tahu bagaimana keadaan dan perasaan hingga detik ini. Namun kita diantara jarak dan gengsi. Rindu itu, hanya aku atau kita yang merasakannya. Entahlah.

     Tapi, akhirnya kita bertemu lagi. Sejenak kamu menatapku. Apa ada yang aneh dariku? Kenapa?

"Kamu berubah."

 Ahh, aku yakin ini tentang fisik.

"Iya kah? Apa yang berubah? Aku tambah seksi? Haha."


"Kamu gendut."

Dan, benar. Iya, aku gendut. Malam hari aku selalu kelaparan. Energiku terkuras banyak untuk aktivitasku sehari-hari dan memikirkanmu. Lapar obatnya makan kaaaan? Jadilah seperti ini. Makan malam penyebabnya. Makan larut malam. Aku juga jarang olahraga, kegiatan padat, jadi stress dan "stress". Baiklah. Tapi hatiku tidak berubah. Itu yang harus kamu tahu. Seharusnya.

"Ahh.. Masa sih. Engga laaah.. aku cuma ga kurus aja. Kamu makin oke aja nih."

Aduh, aku mulai linglung.

Bahan becandaku garing. Kamu tidak menanggapinya.

"Kamu lelah? Mata kamu sayu. Mata panda."

"Iya. Mungkin aku lelah. Haha. aku kurang istirahat. Kurang tidur."

Lihaat..lihatlaah! Kantong mata pandaku menyimpan banyak rindu untukmu. Lihat lagi, penuh dengan rindu.. Lihatlaah!

"Jaga kesehatan, jaga pola makan. Jangan hanya makan lemak. Biar tambah sehat konsumsi Sabu-sabu lebih banyak."

"Sabu-sabu? Kamu gila? Eh.. yang bener aja.. Masa iya aku konsumsi Sabu-sabu. Gimana sih.."

"Haha... Kamu itu ya, ga berubah. Lebay. Makanya dengarkan dulu. Sabu itu sayur-buah. Itu baik buat kamu, Nduut.."

"Haha..Bisa aja kamu. Aku uda kaget aja.. "

"Huh, dasar!"

Dan kita bersama, becanda, bercerita tanpa sadar kita sudah duduk disini selama tiga jam. Botol minum kita sudah habis dan kamu sudah melahap semua roti selai kacang kesukaanmu. Sengaja aku membawanya, melihat reaksi bahagiamu saat membuka kotak roti itu membuatku lebih utuh. Itu yang aku rindukan. Kita bersama seakan tidak ada jarak  

Tetapi tiga jam rasanya belum cukup. Satu musim tanpamu yang aku lalui ingin aku deskrispsikan lebih detail lagi denganmu. Deskripsi tentang segala hal yang aku jalani bukan denganmu. Tiga jam tidak cukup. Aku juga ingin mendengar banyak hal ajaib dari kisahmu selama satu musim lalu. Duduk disampingmu, sesekali mengusap rambutmu yang ikal. Oh iya, kamu masih malas potong kuku kah? Kata temanku disetiap kuku itu ada babinya. Kamu tidak mau memelihara babi ditanganmu kan? Itu kata temanku. Ah, sudahlah. Aku harus cukup dengan tiga jam.

Akhirnya, kita bertemu lagi. Sampai bertemu lagi, dalam mimpi selanjutnya..

Kamis, 06 November 2014

      Selasa, di lantai 4, saat mata kuliah Bahasa Indonesia. Memasuki ruangan, pandangan pertama adalah kaca. Benda tembus pandang yang menyuguhkan pemandangan damai. Seketika kudapati binar oranye senja begitu memikat. Senja begitu membiusku. Dan senja kali ini sangat berbeda dari selasa-selasa yang lalu. Memaksaku lebih lebar membuka mata indera dan mata hati.

     Seperti cahaya dari surga. Lubang langit yang berasal dari singgasana tertinggi para bidadari. Dengan sinar oranye seperti jalan mereka kembali ke peraduan. Di sekeliling sinaran semburat surga senja terdapat gunung awan yang tak kalah menakjubkan. Seperti dunia diatas dunia. Awan-awan senja yanng membentuk garis bukit dan gunung tertinggi diatas langit. Mereka begitu nyata. Sangat nyata. Mempesonakan aku dalam sebuah lamunan yang cukup lama.

     Senja, engkau lebih dari kata indah itu sendiri. Hingga detik ini masih terlukis manis setiap detailmu. Kuterpejam lalu tenggelam. Melihatmu senja dalam memori. Dari kaca diatas luasnya kota Yogyakarta yang mulai meredup. Bias-bias oranye senja mewarnai langit yang sama meredupnya bersama sebuah rindu. Masih didalam gelapnya mata yang terpejam, mengingat lubang langit senja dari surya berbalut mega. Dan gunung-gunung awan yang begitu kokoh, kita serasa dekat. Akan ku singkap awan yang menutupmu dan kubawa pulang surya.

     Akan selalu kunanti Selasa senja berikutnya. Ditempat yang sama. Akan kulawan ketinggian dan menangkap senja dibalik dinding kaca, disinari oranye senja, dibawah rasa rindu. Adakah nanti kesempatan, akan kurengkuh engkau tak hanya dari lantai 4. Nanti, diatas batu tertinggi, dihamparan pasir luas..
Nantikan aku.

Senin, 27 Oktober 2014

Kumenanti, senja. Aku, ketika mendengar kata senja, atau matahari terbenam adalah.. senyum. Sejenak, kulihat ke arah surya, sedikit menyipitkan mata, mengangkat dan memiringkan kepala. Lalu, senyum. Senyum tak hanya satu atau dua arti. Ada perasaan yang tak dapat dideskripsikan. Akan ada banyak binar yang menggetarkan hatimu.
Jika kamu paham.

Senja selalu memberi makna. Lebih-lebih jika sedang banyak gelembung rindu dipelupuk mata. Senja, adalah yang terkasih yang dinanti kedatangannya. Ia paling mengerti kapan senyum itu pecah dan lumer. Semburat oranye senja bagaikan petunjuk jalan kemana perahu harus berlabuh.

Senja selalu memberi makna. Manakala cinta seperti harimau sirkus yang terlepas kemudian lari ke pemukiman penduduk. Liar. Cinta seperti spons yang menyerap seberapapun air kasih yang tumpah. Cinta adalah senyum simpul, senyum malu, tawa lepas, rona merah dipipi. Awan-awan teduh senja adalah tangga-tangga cinta yang menuntun kaki untuk menginjak singgasana.

Senja selalu memberi makna. Saat sendu beradu menantang arus pilu yang deras. Ketika sinar senja menusuk mata, serasa ribuan bola api meluncur ke arahnya. Semakin dekat semakin memanas. Memaksa untuk terpejam agar bumi tidak tiba-tiba hujan. Senja adalah asa yang terbengkalai, helaan nafas panjang. Mentari senja adalah objek yang ingin direngkuh kemudian dipaksanya duduk untuk teman bersandar.

Senja adalah rasa sayang yang menguras relung. Serasa senja ingin kukejar. Kunikmati senja dihamparan pasir atau jika tidak diatas bebatuan tertinggi. Aku ingin senja. Betapa hanya senja yang mampu mengerti setiap rasa yang tak tersurat. Cukup memandang senja, akan terlihat banyak pemberi senyum disepanjang hidup sampai saat ini.

Betapa senja memberi energi disetiap jejak untuk menulis sejarah. Kunanti senja, dengan binar mata menanti sinar oranye menutup wajah sendu penuh rindu. Ingin kuhela nafas bersama senja, paling tidak temani aku membasahi bumi sebentar saja. Agar aku merasa lepas. Senja, maukah kamu? Akan kurekam detik-detik bersamamu. Agar jika rindu, kamu tidak payah lagi menemaniku.
Ku simpan senja disanubari, sampai senjaku.

Rabu, 15 Oktober 2014

Sederhananya sangat sederhana
Cita tanpa sua
Cinta tanpa sua
Ketika jarak dan "jarak" memisah
Waktu dan ruang adalah penghalang
Taukah, relung meraung
Ketika jarak dan "jarak" tak lagi memisah
Disampingmu, didekatmu, didepan matamu, didekap matamu
Melihatmu, menatapmu, mendalamimu
Lekat-lekat..

Tuhan..
Aku mohon saat ini
Hentikan malam ini, hentikan sejenak
Detikku ingin kuurai bersamanya
Detik demi detik, tak rela sedikitpun terlewatkan
Menatapnya..
Sungguh Engkau Maha Sempurna
Menatapnya..
Tak rela sedetikpun terlewatkan

Aku mohon saat ini
Aku ingin menumpahkan segala rindu yang mencekik
Betapa udara tak memberiku nafas
Aku ingin bersandar dibahu nyamannya
Betapa dunia enggan aku singgahi
Aku ingin mendengar lembut, tegas, canda suaranya
Betapa senyum palsu selalu kuukir demi menahan dera
Aku ingin... aku ingin... aku ingin
Aku ingin dia

Hentikan malam ini, hentikan sejenak
Ketika jarak dan "jarak" tak lagi memisah
Aku ingin menatapnya
Kurekam senyum dan bening matanya
Damai

Andai Engkau ijinkan, dan Engkau kabulkan
Hentikan malam ini, hentikan sejenak
Andai malam sudah terhenti dan terhenti sampai tak ada lagi esok
Aku sudah merekam senyum dan bening matanya
Damai..

Selasa, 14 Oktober 2014

Bahagia itu sederhana
Sangat bahagia itu sangat sederhana
Ingin membahagiakan orang tua?
Sederhana! Iya, sederhana saja.
Kamu hanya perlu berhenti berpura-pura. berhentilah berpura-pura bahwa kamu sudah dewasa. Selagi kamu belum berstatus menantu, orang tua masih punya kewajiban atasmu. termasuk membahagiakanmu dan itu adalah hakmu. Sederhana saja, merengeklah seakan hanya mereka satu-satunya manusia yang punya milyaran kasih, rengkuh dan beri senyuman manis karena kamulah sumber energi disetiap langkah mereka untuk mengumpulkan rejeki. untuk siapa lagi kalau bukan kamu.
Sederhana saja. Membuatmu bahagia adalah bahagia mereka.




Senin, 13 Oktober 2014

Pernah kusangka
Gelap duniaku tak berakhir
Nyatanya, seperti mendung tak berarti hujan
Kuduga sebelumnya
Sebuah rasa yang sudah terpatri bahkan hampir mati
Seperti ombak tak berarti tsunami
Memanglah hidup ini musim
Kemarau hujan
Kemarau hujan
Kemarau hujan
Sepanjang tahun
Sepanjang masa
Andai datang hujan
Ingatlah kemarau akan mengering
Jika kemarau datang
Ingatlah hujan akan membanjiri
Kenapa harus takut kemarau memecah
Jangan resah hujan membasah
Keringnya kemarau luka, pedihnya hujan air mata
Tak kan selamanya dirasa
Masalahnya, ada pada masa.

Jumat, 10 Oktober 2014





Aku, adalah bulan kepada bumi
Meski jauh, tapi tak pernah pergi
Walau kadang bulan tak penuh dan tak terlihat
Yakinlah bahwa dia ada









Selasa, 30 September 2014

Senja tak selamanya redup
Kemarau tak selamanya mati
Kelam tak selalu membutakan
Lelah memang kadang tak terperi
Sendu menari riang dipelupuk mata
Amarah merekah, jengah, lelah
Aku, sedalam aku kepadamu
Aku, sejauh aku kepadamu
Aku, seindah aku kepadamu
Tapi, indahnya edelweis tak cantik dari permukaan laut
Kemarilah, mendekat
Nikmati indahnya edelweis di puncaknya
Mendekatlah, tanjaki kerikil datar yang meletihkan
Penat  yang akan terbayarkan
Maukah kamu?
Aku tak janjikan akan sampai puncak bersamamu
Satu yang harus kamu yakinkan
Indahnya edelweis, itu indah
Indahnya edelweis...
Indah...

Jumat, 05 September 2014

Semua bersumber dari aku
Tidak ada yang salah
Kamu, dia, mereka,  bukan kalian
Aku yang salah
Aku yang membuat lara ini tak pernah mengering
Aku yang tak berhenti mengukir pedih dengan detail
Aku yang dengan tenangnya menancapkan luka tanpa hirau
Bukan kamu, dia, mereka
Sesak yang aku buat sendiri
Resah yang aku pupuk sendiri
Lelah yang aku rasa sendiri
Bahkan aku muak
Apa yang harus aku tepis
Apa yang harus aku lepaskan
Bukan kamu, dia, mereka
Bukan..
Sampai kapan lelahku, resahku, sesakku..

Kamis, 04 September 2014

Sayang...
Aku hanya bisa berdoa
Saat kamu hanya bisa berpasrah
Aku hanya bisa berharap
Saat kamu hanya bisa mengusahakan
Aku hanya bisa bertahan
Saat kamu hanya bisa menjalani
Aku berdo'a
Apapun harapan kita terwujud
Satu persatu, dengan pelan
Tetapi proses bisa kita nikmati
bersama, hingga kelak kita bersatu
Aku berharap
Apapun yang kita cita - citakan bisa kita capai satu persatu
Dengan hati yang penuh suka
Aku bertahan
Apapun yang terjadi, selama aku mampu, akan ku pegang teguh untukkmu

Rabu, 27 Agustus 2014

Aku memimpin perjalanan kita
Aku yang paling bersemangat mendaki
Aku bertekad tak kan lelah sampai kepuncak
Sesekali kau siaga memperhatikanku jika nanti aku terpeleset karena aku terus berjalan tanpa melihat terjalnya
Ah.. aku membayangkan sinaran semburat oranye langit yang penuh romansa
Hembusan angin diketinggian yang dingin dan menyejukkan
Hijaunya daun yang tertutup kemilau cahaya sunset yang memikat hati
Burung - burung yang kembali ketempat peraduannya beterbangan
aku, dengan senyum dan keringat berpeluh tetap mendaki dan menggenggam tanganmu
Kita berdua, berjalan mendaki bersama
peluh keluh akan terbayar dengan Mahakarya Tuhan yang tak terdeskripsikan
Sementara langit kehilangan biru, kita terus melaju
Dan... Kaki kita menapak puncak
Kita berpandangan, dan tersenyum puas...
Kau tahu.. Itu akan menjadi hari terindah yang pernah ada.
Denganmu, tentu saja.. 

Jumat, 15 Agustus 2014


“Nanti jangan lupa dimakan ya. Ibu bawakan makanan kesukaanmu. Tapi cepet – cepet dimakan ya, nanti keburu ga enak.”
Ahh.. ibuku sayang, telur sambal merah buatanmu memang paling rancakbana deh. Ku masukkan bekal makanan dari ibu ke tasku. Ku cium tangan ibu dan bapak, berpamitan, dan ku tancap gas bersama si bawel adikku Roby menuju stasiun. Iya, akau akan mengunjungi eyangku di Ngawi. Aku akan tinggal beberapa minggu disana, mumpung sedang liburan semester.

Perjalanan yang ku tempuh dengan kereta terasa lebih nikmat. Mataku dimanjakan dengan pemandangan hijaunya hamparan sawah sambil sesekali ku lahap telurku. Ku lihat ibu – ibu sedang menanam padi atau “tandur”, bapak – bapak yang sedang menuai padi rawatannya. Sudah terbayang, betapa capeknya mereka, kepanasan, pegel- pegel. Besarnya perjuangan mereka untuk para pengonsumsi nasi. Kadang aku suka merasa prihatin, jika ada temenku yang membuang begitu saja nasi yang tak habis dimakannya. Dia enak, tinggal menikmati nasinya tapa harus menanam dan merawatnya. Coba kalau dia tahu prosesnya, pasti dia akan lebih menghargai. Ku habiskan bekalku hingga butir nasi terakhir untuk penghargaanku pada petani padi.

Menuju rumah eyang, aku harus menempuh 15 menit lagi dengan ojek. Sesampainya disana eyang langsung menyambutku.

“Assalamu’alaikum, yang.”

“Wa’alaikumussalam, cah ayu. Sendirian saja kamu, Din?”

“Iya yang, yangkung mana yang?”

“Sebentar, yangti panggil dulu. Kamu istirahat dulu gih! Udah yangti siapin kamarnya.”

Yangti selalu menyambutku dengan persiapan khusus. Maklum, aku cucu kesayangan karna aku sering berkunjung. Beda dengan cucunya yang lain yang tinggal jauh – jauh diluar pulau.

“Andini, sudah lama kamu nak?” sapa yangkung.

“Baru saja kok kung.” Ku raih tangan  tuanya yang telah mengukir banyak cerita seiring usianya yang sudah sepuh, ku cium.

Mereka hanya tinggal berdua. Mereka masih harmonis. Saling setia, saling menerima satu sama lain, yangkung juga romantis, kata eyangku. Ahh.. perlu dicontoh.

Adzan Ashar berkumandang, aku bersihkan diri ku temui sang Maha Cinta. Ku panjatkan syukur atas rahmatNya dan perlindunganNya, aku bisa sampai Ngawi dengan selamat dan utuh. ^^

Hari pertama di Ngawi yangti mengajak ngobrol masalah kegiatanku dikampus dan banyak lagi. Waktu terasa cepat berlalu. Adzan maghrib berkumandang. Tapi, ada yang berbeda, suaranya begitu khas mendayu – dayu. Subhanallah, merdu sekali. aku terdiam, aku nikmati alunan panggilan Rabbku. Yangti lalu memanggilku, diajaknya aku untuk ikut sholat berjamaah di Mushola.
Diperjalanan, bersama warga lainnya kutelusuri jalan setapak berbatu menuju mushola. Ibu – ibu yang berjalan bersamaku terus menanyakan tentangku kepada yangti. Aku hanya tersenyum cengar cengir sementara yangti yang menjawab. Hampir sampai di Mushola tujuan kami, ku lihat dari kejauhan papan nama di Mushola itu. Mushola Ar-Roji’un.

Ketika sampai dan rombonganku masuk mushola, tampak seorang pemuda lalu berdiri menghampiri microphone, dikumandangkannya iqomah. Dan ternyata, dialah pemilik suara emas itu. Reflek aku pandangi dia, ya Allah, tampan.

Aku jadi rajin sholat berjamaah disana. Apalagi yangti selalu mengajakku, apa boleh buat. Aku tak mungkin menolak. Slalu kunikmati kumandang adzan pemuda tersebut. Aku tak berani menayakan tentang pemuda itu, aku malu.

Ahh.. Allah memang baik. Suatu ketika setelah selesai jamaah, aku keluar mushola. Sambil menunggu yangti didalam yang masih ngobrol. Aku pandangi langit, ada sinaran bulan sabit yang seakan tersenyum, menerangi malam. Tiba – tiba ada seorang bapak memanggil seseorang, disebutlah sebuah nama..

“Nak Arga”

Ku toleh sumber suara dan kulihat sang sang muadzinlah yang menjawab panggilan itu. Tadaaa… namanya Arga. Aku tersenyum.

Semakin hari, semakin terngiang jelas suara adzan itu. Ya Allah, perasaan apa ini. Wushh…wushh…wushh..pergilah. mungkin ini perasaan…………………….. aku diam. Ku pikir kata yang tepat untuk melengkapi perkataanku. Hap! Kagum. Yap, Cuma kagum, bukan cinta. Plaakk!! Ku tepuk jidatku, kenapa ku sebit kata itu. Aarrghh…!!!

Ya Allah, semakin lama aku semakin tersiksa. Tak bisa ku sembunyikan perasaan itu. Sampai – sampai yangti bisa tau gerak gerikku.

“Ganteng ya Din. Uda ganteng, suaranya bagus, anaknya ulet, pekerja keras, tanggung jawab, rajin jamaahan, sholeh, ramah, sopan, bla..bla..bla..” yangti mencoba mendiskripsikan. Aku hanya manggut – manggut. Aku semakin berbunga – bunga. Ku layangakan imajinasiku. Andai saja…… humh.. ya Allah, ampuni hamba.

Tapi hari ini rasanya aku ingin marah pada yangti. Ada satu hal yang belum dijelaskan yangti padaku. Ternyata mas Arga akan menikah. Tadi mas Arga datang kerumah mengantarkan undangan walimahan untuk yangti. Dengan senyum, walau agak ku paksakan ku terima undangan itu dengan tangan gemetar.

“Mbak Andini juga hadir ya.”

“ohh, iya mas, insyaAllah. Selamat ya mas.” Balasku.

Hariku jadi penuh kabut, kali ini tak ada yang special ketika adzan mas Arga berkumandang. Yahh.. takdir Allah. Biarlah, tak kusesali rasa iu pernah ada untuk mas Arga. Terima kasih.

Ku bungkus dua sajadah merah, untuk kado. Ku selipkan doa untuk  keduanya. Ya Allah, tapi sayang sekali aku tak bisa hadir. Hari walimahannya bertepatan dengan hari kepulanganku. Kutitipkan kadoku pada yangti, kutitipkan salam dan kata maaf karna tak bisa hadir.

Didalam kereta, ku pandangi lagi pemandangan hijau hamparan sawah.
“ya Allah, sediakan untukku seseorang seperti mas Arga. Bukan hanya suaranya saja yang bisa aku nikmati, tapi juga kasih sayangnya. Berikan aku satu muadzin, yang sekaligus akan jadi imamku.” Gumamku dalam hati. Lama lama, Tanpa sadar aku terlelap.

“Hapuslah air mata dipipi dan hilangkan lara dihati. Terimalah, semuanya adalah bagian dari hidup ini. Dengan kebesaran hati dan jiwa dirimu akan menemukan apa rahasia dibalik kehidupan yang telah dijalani. 


Kelak akan kau rasakan tiada lagi riak kegelisahan dan keresahan saat sendiri.”

“Kalau orang kaya gitu mah, tinggal nunggu dosanya menumpuk terus lihat saja besok apa yang akan terjadi. Paling juga bakal masuk Rumah Sakit lagi. Bisanya saja menginjak – injak harga diri orang.”

“Iya, semua itu kan bakal ada balasannya. Tunggu saja waktunya. Orang kaya sih orang kaya, tapi kalau kelakuannya seperti itu apakah pantas. Mentang – mentang orang berada. Kita sebagai orang kecil ya terima sajalah, paling juga bakal kena batunya. Itu pasti.”

Mendengar pembicaraan  ibu – ibu itu saya langsung berpamitan meninggalkan warung.

“Eh, mau kemana Dek? Kok buru – buru banget.”

“Iya ini Bude, saya sudah selesai belanjanya. Duluan ya..”

Saya takut terseret dalam pembicaraan yang mulai menjalar ke masalah seperti itu. Penyakit semacam ini memang susah dihilangkan, dari pada tertular mending saya langsung menghindar. Saya tahu siapa yang mereka bicarakan dan apa permasalahannya, tapi saya tidak mau ikut campur. Takut saya juga kena dampaknya.

Tak akan ada asap kalau tidak ada api. Tidak ada akibat kalau tidak ada sebab. Sakit hati lah yang memicu pembicaraan Bude Yati dan Bude Tini. Bude Yati adalah korbannya. Bude Yati pernah curhat dengan saya, beliau percaya saya akan menjaga permasalahan ini dan tidak ember. Beliau bercerita tentang sakit hatinya kepada Pak Yahya yang suka menyindir keluarga beliau, halus, tapi sadis. Beliau bercerita dengan raut wajah yang memelas seakan ribuan jarum menusuk hatinya. Kalau saya yang berada diposisi Bude Yati, mungkin hal yang saya rasakan sama.

“Pak Yahya itu, gila hormat banget Dek. Waktu aku sedang diluar sama anakku yang paling kecil, dia lewat, jelas kan dek, aku langsung menyapanya. Sekali dua kali dia lewat didepan rumahku dan aku masih menyapanya. Tiga kali empat kali dia lewat, aku diam dan sibuk dengan anakku. Tahu ga Dek,  dia itu lewat dan nyeletuk, ‘kalau jadi orang itu yang sopan, andhap asor, murah senyum, ga Cuma ditekuk saja mukanya, banyak pikiran sih banyak pikiran, tapi ya lihat lihat situasi.’ Dia berkata seperti itu sambil lewat didepanku. Bayangkan Dek, masa iya aku harus selalu menyapanya tiap dia lewat, kurang kerjaaan banget kan? Mending  kalau jangka waktu dia lewat itu agak lama, lha kalau sliwar sliwer kaya gitu apa iya aku harus selalu menyapanya. Sekali dua kali kan cukup kan Dek. Aneh.” Bu Yati menghela napas.

“Ya Allah Dek, salahku itu apa, aku juga tidak pernah meminta kekayaannya. Aku juga tidak pernah mengusik kehidupannya, tapi dia itu seakan pengen membuat keluargaku itu rendah. Memang, aku keluarga yang biasa saja, tapi apakah pantas dia menginjak – injak harga diri keluargaku. Jadi orang kaya kok sombong. Bisanya hanya bikin orang sakit hati. Aku memang orang miskin dek, tapi kalau aku punya uang pasti akan aku bayar hutang, tapi sabar. Wong aku yang punya hutang kok dia yang ribet. Sering dia  mengungkit ungkit masalah keluarga ku kalau sedang ada acara arisan keluarga atau perkumpulan lain lain. Padahal kita itu masih ada hubungan darah lho dek, masih satu trah. Ya beginilah dek kalau posisi lagi terhimpit, adanya cuma dijadikan mainan orang orang punya. Aku bisanya ya cuma sabar kan dek, wong sabar bakalan menang kan dek.”

Saya tersenyum melihat ketegaran Bude Yati. Tapi yang jadi masalahnya adalah cara beliau mengungkapkan kekesalannya. Beliau malah bercerita dengan Bude Bude yang lain, jadilah mereka menjadikan hal itu sebagai ajang bergosip. Dan kalau sudah kesal, akhirnya  doa doa tidak baik yang terlontar. Astagfirullah.

Kesenjangan sosial memang menjadi masalah yang kompleks di dalam bermasyarakat. Sebenarnya kalau antara dua posisi tersebut ada suatu komunikasi yang baik, hubungan antara mereka juga baik. Memang kekayaan sering membuat orang tinggi hati dan suka memandang sebelah mata orang yang biasa saja. Tapi tidak semua seperti itu, walaupun hanya segelintir saja. Kesadaran akan saling bersosialisasi, toleransi, tenggang rasa, dan saling menjaga perasaan mulai menipis sehingga hal – hal seperti itu mulai menjadi jamur dimana – mana.

Saat saya sedang santai dengan suami saya, anak – anak sudah tidur, saya buka obrolan dengan bertanya apa pendapat Mas tentang masalah Bude Yati.
“Sebenarnya itu sudah jadi Icon nya orang kaya kan dek, menginjak yang kecil. Tapi tidak semua seperti itu. Yang jelas, pasti ada sebab intern dari Pak Yahya, mungkin juga tidak cuma itu yang jadi masalah Pak Yahya. Wong semua orang juga tahu kan dek, Pak Yahya itu seperti apa. Sebagai yang muda, yang lebih paham ya mencoba memaklumi saja, kalau kita menentang justru kita jadi sasaran berikutnya. “

“Iya juga ya Mas.” Aku coba menelaah kata – kata Mas dan menyambungkan dengan masalah Bude Yati.

“Tetanggga itu kan saudara kita yang paling deket kan dek, kalau ada apa – apa pasti larinya juga ke tetangga. Kita belajar dari pengalaman Pakde Sugi saja, ketika istrinya jatuh kemarin, tidak ada yang langsung menolong. Soalnya dia angkuh sama tetangga, sulit tegur sapa, tidak berusaha menjalin hubungan baik dengan yang lain. Di perkumpulan bapak – bapak itu saja dia tidak pernah berangkat. Ga atau alasan yang jelas itu apa. Jadi ya begitu, tak banyak orang yang simpati sama dia. Kalau saja dia tidak datang ke rumah pak RW untuk minta tolong, mungkin dia bakal jadi duda. Kasihan kan?” Mas menataku dengan raut penuh tanya dan menanti jawaban. Aku mengangguk.

“Kalau saja setiap orang menanamkan rasa saling menghormati, tenggang rasa, toleransi, saling menghargai, saling menjaga perasaan, mempunyai rasa persaudaraan yang erat, Mas yakin kasus seperti Pak Yahya, Bude Yati dan Pakde Sugi tidak akan terjadi. Tapi setiap orang berbeda – beda, ada yang sadar dan tidak. Juga satu yang paling penting, keimanan. Orang seperti apapun kalau sudah punya iman yang kuat pasti semua akan rukun. Mungkin yang jadi faktor selanjutnya masalah kerohanian. Masyarakat kita kan paling terbelakang kan dek dibanding masyarakat desa lain. Tidak ada kegiatan keagamaan di desa kita, kalaupun ada itu jarang sekali, bahkan mungkin setahun sekali, pas bulan Ramadhan saja. Yang terpenting adalah kita tanamkan rasa itu pada diri sendiri, kita mulai dari keluarga sendiri setelah itu kita tularkan ke yang lain.” Mas lalu menyeruput teh buatanku dan pamit ke kamar mandi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].


Beribadahlah kepada Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri. [an-Nisâ`/4:36]. 


Mereka cantik sekali, meskipun tidak ada pembeda diantara mereka. Warna, bentuk dan cara memakainya sama. Ya iyalah, seragam sekolah.  Manis, rapi, anggun dan aman. Tidak sepertiku yang masih memakai rok pendek. Ah, cantik! Aku selalu terpukau melihat adik kelas, teman – temen ku atau kakak kelas yang memakai jilbab. Bagaimana pun bentuk wajahnya dimataku mereka cantik. Iya, cantik!

Kebetulan, teman main, ngumpul, ngerjain tugas dan kemana – mana kebanyakan berjilbab. Jadi  jika aku berjalan bersama mereka hanya aku yang belum tertutup, masih bisa  dikonsumsi publik. Ngeri! Sebelumnya sih, aku biasa saja, tapi aku seperti orang asing jika dilihat. Seperti bukan golongan mereka. Bahkan aku pernah dikira non muslim ketika bersama teman – temanku, karena aku tidak berjilbab sendiri. Ternyata, jilbab adalah identitas.

Rasa kagumku semakin bertambah, rasanya sejuk melihat orang berjilbab. Aku tak pernah memakai jilbab kecuali di pengajian atau saat bepergian jauh. Ah, terlalu! Aku pernah memakai jilbab, sekali, karena  aku lupa bawa seragam pramuka, aku cuma memakai seragam olahraga. Aku pinjem temenku, tapi dia berjilbab. Tak apa, sekali – kali bikin sensasi. Dan responnya bagus uey, pada bilang aku cantik. Ahay! Aku sendiri juga nyaman memakainya. Gejolak untuk berjilbab akhirnya tumbuh. Aku mulai cerita pada temanku tentang niatku untuk berjilbab. Dia mendukung. Tapi bukan hanya dukungan yang aku butuhkan kawan, tapi seragam dan jilbabnya! Aku tanya dengan seorang sahabatku, dia bersedia meminjamiku rok osis dan seragam pramuka plus jilbabnya. Alhamdulillah. Allah tahu yang ku mau.

Yang jadi masalah adalah, seragam identitas sekolah. Tak ada yang punya. Aku cari sana sini, tanya temen temen yang lain, hasilnya nihil. Ya Allah, saya niat banget loh ini, mudahkanlah. Eits, doa ku dikabulkan, cepet banget kan? Kalau niat baik itu pasti akan dipermudah jalannya. Suatu hari, aku bermimpi, ada seorang temenku yang mempunyai tetangga yang dulunya adalah alumni sekolahku. Berbekal petunjuk bunga tidur itu, walau percaya dan tidak aku iseng – iseng tanya temanku yang ada di dalam mimp itu. Ternyata tidak ada. Tapi, jangan sedih dulu, justru yang punya adalah teman sebangku teman yang aku mimpiin tadi. Alhamdulillah! (lagi). Yes! Lengkap sudah. Sekarang kemana- mana kau akan lihat aku dengan teman -  teman ku sama. Manis, rapi, anggun, dan cantik. Hehehehe.

Itu cerita ku saat aku kelas dua. Kali ini berbeda cerita saat aku kelas tiga. Ini ujian! Untuk foto ijasah, banyak teman temanku sendiri memilih melepas jilbabnya. Temenku sendiri . Yang aku jadikan cermin. Waw! Alasannya sih katanya kalau melamar kerja foto ijasah harus tidak berjilbab walau kesehariannya berjilbab biar kelihatan bentuknya (ga ada cacat maksudnya). Di satu sisi ingin menunjukkan wajah sempurna, satu sisi ini adalah aurat, jadi harus ditutup. Ternyata aku galau juga. Tapi kok gitu sih? Alasan klasik. Aku ga mau, aku ga mau lepas. Aku perjuangannya susah loh. Aku tetap memakai jilbab. Toh, rejeki Allah yang atur, pasti ada pekerjaan yang bisa ku dapat tanpa harus melepas jilbabku. Jepret, selesai.

Sambil menunggu hasil kelulusan, saatnya hunting job. Aku sudah siap melamar kerja di suatu perusahaan di Jakarta. Tapi, ternyata ibu tidak mendukung. Alasannya karena jauh, takut ga ada yang ngawasin pergaulanku disana. Sedikit protektif. Akhir kata, nurut sajalah. Akhirnya ada saudaraku yang menawarkan pekerjaan untukku, tempatnya di Jogja. Katanya gaji di Jogja dan di Jakarta yang tadinya mau aku lamar itu sama. Jelas dong pilih yang deket. Tapi syaratnya, ga boleh pakai jilbab, soalnya itu bos nya Chinese, jadi kalau mau berjilbab kalau uda pulang atau pas di kost. Jleb, ujian kedua, duh Gusti! Ibu semangat mengomporiku untuk kerja di Jogja, udah deket, ada asramanya, proses masuknya nanti bisa dipermudah dengan adanya mbakku disitu, gaji gede pula. Hiks.. tapi jilbabku.. aku terpaksa mengiyakan tawaran itu. Memang lowongan kerja di sekolahku masih banyak, tapi tidak lebih baik dari yang di Jakarta sama di Jogja, kata Ibu, “Eman”. Baiklah bundo, nurut sajo lah.

Karena sudah dijamin sama mbakku, aku santai melenggang menunggu pengumuman. Ngapain ribet, aku dah dapet kerja. Hohoho. Deg – degan banget nunggu pengumuman, bagaimana hasilnya ya? Aku ngerjain sendiri loh, kalaupun nanti hasilnya jelek ga papa deh, aku usaha sendiri. Nilai ku tetep bagus dimata Allah, itu hasil kejujuranku. Ecieeeh…. Tapi deg – degan ku nambah nih, mbak ku bilang sama Ibu ku, ternyata masih nunggu sekitar tiga bulanan lagi kalu mau daftar ditempat kerja mbakku, nunggu ada yang keluar dulu dari situ dan aku ceritanya buat cadangan. Bah, lama kali. Tiga bulan, trus aku ngapain dong selama itu. Singkat cerita, gantian aku yang kalang kabut cari kerja. Temen – temen ku uda ada yang berangkat kerja sebelum pengumuman tapi aku bingung sendiri. Nah loh!

Mau daftar dimana ya? Telat, uda pada tes semua. Pasti kalian tanya kenapa ga kuliah? Ga ada ongkos euy, makanya mau kerja dulu, insyaAllah kalau ada kesempatan lanjut kuliah. Eits, balik lagi ke pekerjaan. Aku masih belum dapet. Putus asa. Sedih, nyesel. Kenapa dulu aku ngga sambil daftar yang lain yang. Huhuhu.  Yah, namanya penyesalan datangnya di akhir, kalau di awal namanya pendaftaran, katanya sih gitu.  Tapi, sekali lagi, niat baik pasti akan ada jalan keluarnya.

Suatu hari, aku ke ruangan Konseling dan bertemu dengan bu guru BK. Ternyata disitu aku disuruh nyebarin info lowongan kerja di suatu pabrik sarung tangan. Tapi bukan jadi buruh, yang dibutuhkan pas bagian administrasi. Pas banget saudara! Aku lagi butuh kerjaan tiba – tiba ada lowongan kerja baru. Sesuatu banget ga tuh! Alhamdulillah (sekali lagi). Tanpa basa basi aku siapkan segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk melamar kerja di pabrik itu. Dengan penuh semangat tentunya. Semoga allah berikan yang terbaik.

Dan, benar saja. Setelah melewati proses panjang, tes ini itu, akhirnya aku diterima. Di-te-ri-ma! Subhanallah.  Aku dan temenku berdua yang diterima disitu. Terima kasih ya Allah. Dan, satu lagi nikmat yang Allah beri untukku. Disitu tidak ada ketentuan khusus dalam berpakaian, ini artinya bebas dong. Aku bebas berjilbab. Iya, berjilbab! Allahu akbar!

Betapa Allah menyayangiku. Hanya karna aku ingin mempertahankan jilbabku Allah memberikan kemudahan untukku. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana aku memperbaiki hati dan akhlakku agar seimbang  dengan pakaian yang aku kenakan. Ketika aku pakai jilbabku, aku merasa nyaman dan aman, tidak sembarangan orang bisa melihat kecantikanku. Terkadang aku merasa miris ketika aku melihat perempuan dengan pakian minim – minim. Aku jadi ingat ketika aku dulu belum berjilbab. Betapa banyak orang yang dengan bebas melihatku, bentuk tubuhku, rambutku yang tergerai yang pastinya menimbulkan pikiran yang sedemikian rupa, ada yang beristighfar atau bahkan ada yang menikmatinbya. Astagfirullah betapa rendahnya aku.

Bukan kah menutup aurat itu suatu keharusan? Jangan menunggu hidayah Allah untuk berjilbab. Tapi jemputlah dengan penuh harap dan ketulusan. Niscaya Allah akan permudah segala hal yang diniatkan untuk kebaikan. Dengan jilbab kita akan terlindung. Bahkan banyak yang mendoakan kita. Kok bisa? Iya. Kalau kita lewat di depan orang dengan pakaian yang minim, banyak yang godain, tapi berbeda kalau kita berpakaian rapat, rapi dan berjilbab, justru mereka mengucapkan salam. Apakah kamu pernah mengalaminya? J aku sudah.

Berjilbab, hal yang wajib untuk setiap muslimah. Untuk teman – teman yang belum berjilbab segera berjilbablah, temukan segudang rahasia indahnya yang tertutup itu dan sekian banyak keajaiban – keajaiban sehubungan dengan jilbabmu. Beda orang beda cerita tentunya.  Bagi saudariku yang sudah berjilbab semoga Allah selalu menetapkan hati kita agar selalu beristiqomah berada dijalanNya. Tetap jaga keimanan, perbaiki akhlak dan semangat menggapai ridhonya. Aamiin..
Ups, kepanjangan ya. Hehehe. Alhamdulillah, Aku bersyukur kepada Allah atas nikmatnya , atas pekerjaan dan jilbabku. Semoga barokah. J aamiin
Itu pengalamnku dengan jilbabku saudara, semoga bermanfaat. Salam manis dari yang manis.




Nyanyian merdu ayam jantan menggema di sela – sela sinaran mentari yang menghangatkan. Ku dengar Ayah mulai memanasi bebek kesayangannya yang biasa beliau pakai ke kantor, Ibu bercengkrama dengan piring piring kotor yang sesekali ku dengar suara air gemercik dari keran. Aku yang masih di zona nyamanku sesekali menarik selimut dan masih ingin ku rajut mimpi, ku lirik jam dinding Angry bird ditembok kamarku.
“Astagfirullah.. Ibu…….” aku loncat kemudian lari ke kamar mandi.

“Ibu, kok ga bangunin Hasna sih.” Teriakku dari kamar mandi sambil gosok gigi.

“Makanya sehabis Subuh itu jangan tidur. Kamu kan udah gede juga, masa iya Ibu harus melulu bangunin kamu.”

“Ahh. Ibu. Nanti kalau Hasna telat bagaimana?”

“Emang biasanya gitu kan?”

“Hehehehe. Khilaf bu.”

“Khilaf kok tiap hari, seharusnya kamu bisa belajar dari kesalahan hari kemarin.”

“Iye..iye.. paham bu.” Aku menyadari ada sesuatu yang janggal.
“IbuUuUuUu………………………….”

“Apa?”

“Tolong ambilkan handuk Hasna ya. hehehe. Ibu cantik deh.“

***
Handphone ku berdering. Chika sms.
“Miss Late, buruan brangkat, ulangan Bu Indri lho. Uda bljar kan? Awas kalo nanti nyontek tak bunuh qm!!.”

Alamak, astagfirullah. Matematika!
“Chika sayang yg aduhai, tolong dibantu-bantu yak, Q… ngg..…. Hehe” ku balas smsnya sembari menunggu mobil jemputanku datang. Mobil angkot.

Dia membalas, “NO WAY! Pasti g’ bljar lg ea? Awas qm ya!”

Tak usah aku ragu lah, dia kan teman yang tidak akan tega melihat temannya menderita gara – gara rumus mematikan. Seperti kebanyakan siswa di sekolah – sekolah, aku alergi dengan pelajaran ini. Lihat soalnya saja sudah bersin – bersin. Aku lebih suka mentranslet satu buku modul Bahasa Indonesia menjadi bahasa Inggris dari pada mengerjakan Matematika. Hhuft!

Tiada hari tanpa terlambat. Pak Jack  sudah siap – siap menutup gerbang sekolah, nama aslinya sih Pak Joko, tapi biar lebih keren dan singkat aku selalu memanggilnya Pak Jack. Pak Satpam yang paling akrab denganku. Karena apalagi kalau bukan keseringan telat kemudian beliau hafal denganku.
“Buruan Cah Ayu! Eits, benerin dulu itu jilbabnya, compang – camping.”

“Ga papa Pak, yang penting ayu.”

“hahahha, yowis yowis, buruan masuk.”

Ku keluarkan jurus seribu bayanganku, menerobos parkiran, melewati kelas satu, melintasi kantin bu Kamti. Bu Indri sudah sampai setengah perjalanan ke kelasku, alamak! Ku tambah kecepatan langkahku ku tuju pada jendela kelas paling ujung belakang.

“Dina..Dina.. woy, ini tolong dong tasku masukin, lempar ke Chika, cepet!!.” Tak ku hiraukan wajah kecut Dina yang ikhlas ga ikhlas tetap melakukan hal ini hampir setiap hari, aku yakin dia jengkel plus jenuh. Bu Indri sudah sampai di kelas. Ku atur irama nafasku, tenang.. tenang, ku langkahkan kaki ke ruang kelas.

“Permisi Bu..” Sambil ngap-ngapan.

“Iya, masuk.”

Yes..yes..yes, Bu Indri tidak menyadarinya. Hohoho. Tapi, penderitaanku belum berakhir. Aku harus siap – siap menerima gencatan senjata dari Chika. Dia lebih galak dari Bu Indri. Matanya melotot padaku, tajam! Tapi seketika itu dia menulis sesuatu dan menyodorkannya padaku.

“Kali ini kau selamat! Untung aku lagi sakit gigi, jadi tidak bisa mengomelimu secara habis habisan, tapi tunggu saja, setelah aku sembuh, omelanku hari ini akan aku akumulasikan untuk hari berikutnya. Hahaha… aduuhh -_-.. “  ku pandang wajah Chika, ku coba tahan tawaku, Chika melihatku sambil mengepalkan tangannnya. Ups! Aku kelepasan.

“Hasna, ada apa?” tanya Bu Indri.

“Eng..eng..nggak ada apa apa Bu, hehehe.”

“Baiklah, semuanya sudah siap? Keluarkan kertas! Ingat, hanya ada selembar kertas, alat tulis saja yang ada si atas meja, semua buku  dimasukkan. Untuk coret – coretan Ibu beri satu buram untuk satu anak. Jelas?”

“Jelas Bu..” jawab anak – anak satu kelas.

Alamak. Aku lupa, ini dia hantunya. Ku toleh Chika, ternyata sakit giginya juga merubah sifat malaikatnya menjadi malaikat pencabut nyawa.

“Chika, please.” Ku pasang wajah memelas dan sesekali ku kedipkan mataku. Dia mulai menulis jawaban.

“NO WAY! KERJAIN SENDIRI!”

Ku tepuk jidatku. Chika, tunggu pembalasanku!

***
“Bagaimana ulanganmu tadi?” tanya Chika dengan suara lirih menahan rasa sakit.

“Sukses!” mukaku kecut.

“Hahahahaha…haduh.. lebih baik ngerjain satu tumpuk soal matematika dah daripada sakit gigi. Eh iya, tadi Ibu Eni nitip pesan untukmu, hari Senin besok kamu ga boleh terlambat, beliau mohon dengan sangat, demi nama baik mu dan Bu Eni. Parah Lu, Bu Eni sampai segitunya. Jangan kecewain beliau!”

“Iya? Bu Eni bilang gitu? Waw, Bu Eni memang baik hati, malaikatku.”

“Yeee, Iya, Bu Eni memang malaikatmu tapi kamu setan di mata Bu Eni. Hahahahha..haduh..”

“Diem ajaaaa, nanti kamu ompong gara- gara ketawa terus.. baiklah Bu Eni, akan ku buktikan!”

“Semoga berhasil anakku.” Chika menepuk bahuku.

***

“IbuUUuuuUuu…………. Kok listriknya dimatiin??”  aku paling tidak bisa tidur dengan keadaan gelap, meski dalam keadaan lelap pun kalau lampu mati aku pasti akan terbangun. ku lihat baru jam 4 pagi.

“Katanya suruh bangunin, buruan bangun, bantu – bantu ibu.” Sebelumnya aku sudah berpesan kepada Ibuku untuk membangunkanku hari ini, dan beliau berhasil. Aku berpesan kepada orang yang tepat.

“Ibu, ngantuk.”

“Hasnaaaa!!!!”

“Iyaaa..Iyaaaa.”

Alhamdulillah, berkat ibu aku berhasil berangkat pagi. Dan tidak terlambat, rekor MUI, kata Pak Jack. Setahuku Rekor MURI bukan MUI. Bu Eni menyambutku gembira, dengan mata berkaca – kaca, Chika memelukku, ini pada kenapa sih, berlebihan.

Hari Senin, upacara bendera dilaksanakan. Setelah Pembina upacara selesai memberikan amanatnya, sang protokol membacakan acara selanjutnya, tapi kali ini berbeda.

“Pengumuman – pengumuman.” Sontak suasana menjadi riuh. Pasti akan ada berita baru. Pak Iqbal yang membacakannya.

“Alhamdulillah, segala puji bagi Allah telah memberikan rahmatnya untuk sekolah kita. Seminggu yang lalu, sekolah kita dan 2 sekolah lain mewakili kota Malang untuk ikut lomba debat bahasa Inggris di tingkat Nasional. Alhamdulillah juara satu.” Suara tepuk tangan riuh membahana di lapangan sekolah. Pak Iqbal kembali melanjutkan.

“Dan, dengan bangga saya panggil wakil dari sekolah kita untuk maju dan menerima penghargaan. Untuk saudari Hasna Nuraini, silakan ke depan.”
Chika memelukku erat, dia menangis dan teriak – teriak, sakit giginya sembuh. Dina yang selama ini ketus padaku memberi ucapan selamat. Ku tapaki jalan menuju mimbar, ku lihat semua orang tersenyum padaku sambil tepuk tangan. Sampai mimbar, aku tak percaya berada disini, ratusan pasang mata menatapku gembira. Aku menangis terharu, ketika aku menerima piagam dan trophy semuanya bertepuk tangan untukku. Ketika ku angkat trophinya sambil tertawa dan terharu tepuk tangan semakin riuh. Segala puji bagi engkau ya Allah. Tapi, tangisku tak tertahankan ketika melihat sosok di paling belakang dengan seragam hitam putihnya sambil mengangkat dua jempol untukku, Pak Jack. Hanya engkau yang tak bosan menegurku kala terlambat.


Sekarang, yang ada dihadapan kalian bukanlah Miss Late. Dia lah pemenang debat bahasa Inggris, jadi jangan cepat menyimpulkan sesuatu pada orang lain. Jangan hanya pandang sebelah mata. Aku bukannya sombong, tapi berhati – hati lah saat kamu memandang seseorang, jangan pernah menganggap rendah. Kamu tak pernah tahu, justru dia punya nilai lebih darimu. Berhati – hatilah kawanku.

“Happy Birthday to you.. happy birthday to you.. happy birthday..happy birthday.. happy birthday to you”. Kamu dengan wajah lugumu tampak malu – malu dan tak bisa menyembunyikan rasa senangmu saat kakak bersama bapak dan mamak yang menggendong aisyah menghampirimu. Matamu tertuju pada kue kecil dengan dua lilin yang menyala, itu kejutan untukmu sayang. kakak juga rasakan kebahagianmu.

20 Maret 2006 lalu kamu dilahirkan, saat itu kakak masih kelas 6 SD. Kakak dulu sangat menantikan kehadiranmu, di kelas kakak melamun memikirkanmu. Apakah kamu sudah menatap indahnya dunia, Atau kamu masih tidur dirahim mamak. sewaktu kakak pulang, simbok memberi kabar. Simbok yang menunggui mamak berjuang demi kamu. kata simbok kamu cantik dek.
“matanya cemlirit, kinclong.” Kata simbok pada kakak dengan wajah yang ceria.

Rambutmu lurus, matamu bening dengan bulu mata yang lentik, dan pipi yang cabi. Tahu ga dek kenapa pipimu cabi? Soalnya ibu dulu ga suka sama si tikus Jerry yang jahil sama Tom. Itu sejarahnya, dan karena itulah kakak memanggilmu Gembul. Sampai saat ini. Semua orang bahagia menyambutmu, keluarga bapak yang dari Magelang datang dengan serombongan bis demi menengokmu.

Kakak ga kesepian lagi dek, rumah juga sekarang ramai dipenuhi suara tangismu. Kakak mulai belajar mengurusi mu, mengganti popokmu, menggendongmu, mencoba membuatmu tersenyum. Kakak temani setiap gerakmu, setiap pertumbuhanmu, perkembanganmu. Saat kamu sudah mulai bisa tengkurap sebelum masanya, merangkak, dan kamu sudah bisa berjalan sebelum usiamu setahun. Semoga kamu jadi anak yang cerdas dek. Aamiin

Dek, ini bukan perayaanmu yang pertama loh. Ingat kan dulu waktu kamu umur 4 tahun, kakak kelas 1 SMK. Pagi – pagi sekali kakak membangunkanmu, kakak sudah siapkan satu roti isi coklat yang harganya seribuan, Gerry coklat pasta, coklat warna warni lima ratusan itu, satu lilin putih besar yang  kakak potong jadi beberapa bagian kemudian kakak tusuk dengan lidi biar bisa nancep di rotinya, terakhir korek api. Kita rangkai bersama roti ulang tahun sederhanamu. Kita tempeli roti dengan coklat warna warni dan coklat pasta sebagai lemnya. Kamu tancapkan lilinnya kakak yang menyalakan. Kamu tampak bahagia. Tahu ga dek, kakak sisihkan uang jajan kakak selama beberapa hari untuk kejutan kecil itu. Maaf ya dek, kakak ga bisa kasih lebih.

Kamu semakin besar. Kakak ingat waktu kamu tidak mau kakak tinggal pergi sekolah, saat itu bapak sama mamak kerja, simbok ke sawah sama mbah kakung. Biasanya kamu pergi main ke rumah Ardi, tapi hari itu kamu menggelayuti kakak dengan air mata dipipimu, akhirnya kakak ijin tidak masuk sekolah. Semakin hari kamu semakin cerdas, tapi juga nakal. Tapi wajarlah, anak – anak.

Lama – lama kakak kesal, kakak semakin sering terlambat sekolah gara – gara menungguimu mandi. Saat itu kamu sudah masuk TK. Mamak mengantar kakak sambil membawamu karena jalur sekolah kita searah, supaya mamak tidak bolak balik. Semuanya semakin repot saat Aisyah lahir, 25 November 2011. Posisimu tergeser dek, karena kami sudah menanggapmu besar, kamu dicuekin. Kamu sering mengeluh, “opo – opo  adek, opo – opo adek, sitik – sitik aisyah digendong, aku ora.” Sambil manyun kamu terus mengomel. Kakak hanya tersenyum dan mencubit pipimu. Gembul sayang, dulu kamu juga diperlakukan seperti itu waktu kamu kecil. Sekarang kamu sudah gede sayang, belajarlah mandiri.

Kamu mulai ribut minta diajari menulis, minta buku ini itu, minta pewarna, sering minta jajan. Tingkahmu semakin beragam. Kamu mulai tanya yang aneh aneh, sebenarnya tidak aneh, tapi hal yang kamu tanyakan itu adalah hal yang belum kamu mengerti dan belum saatnya kamu mengerti. Kakak sering bingung bagaimana cara menjelaskan jawabannya kepadamu, kakak juga tidak mau membiasakan diri memberikan keterangan palsu agar kamu cepat diam.

Kakak paling senang kalau kamu menangis saat kakak menjahilimu, kamu sangat takut gelap. Kakak mulai suka tertawa saat kamu mengucap kata  terbalik – balik. Yang bikin terharu itu dek, kamu pernah ga makan jajanan yang dikasih bapak gara –gara nungguin kakak. Kakak pernah memukulmu karna membuat aisyah menangis. Kakak pernah memarahimu karna kamu ga bisa – bisa ngerjain soal matematika PR dari gurumu. kakak membentakmu saat Kamu minta di temeni bobok saat kakak masih asyik nonton tivi. Kamu yang mendesak – desak tidur kakak, kakimu kamu sepakkan ke perut kakak, tanganmu tak pernah lepas dari telinga kakak, supaya kakak tidak pergi meninggalkanmu. Kamu teriak teriak saat waktu subuh tiba kamu tidak mendapati kakak disampingmu. Ahh kau Mbul, bikin gemes.

Kamu ingat kan dek, tiap habis magrib kamu selalu standby menunggu kakak sesesai sholat, kamu bawa Iqro dan bertanya sampai halaman berapa. Kakak tertawa saat kamu mikir lama, dengan ekspresimu yang kacau itu. Kamu tertawa saat kakak memonyongkan bibir kakak saat mengucap huruf Zho untuk mencontohkanmu. Kakak mulai kesal saat kamu bingung mana huruf Kho dan huruf Gho. Tetap giat ya dek, kakak ingin kamu jadi anak yang cerdas dan sholeha.

Rasanya kakak ingin sekali mendampingimu belajar terus agar kamu lebih dari kakak. Apa daya dek, kakak juga masih belajar, belajar menjadi contoh yang baik untukmu, juga aisyah. Belajar jadi sholeha agar kelak bisa kamu contoh, belajar berbakti ke orang tua agar kamu juga mengikuti kakak. Jangan pernah kesal ya dek  kalau kakak tidak sabar menghadapimu.

Di usia mu yang masih 7 tahun ini de, Kakak harap semakin tahun kamu semakin cerdas, semakin pintar sekolahnya, pinter ngajinya, semakin rajin , selalu diberi kesehatan. Belajar giat, supaya kamu bisa jadi guru seperi yang kamu cita citakan. Paling juga besok cita cita mu berubah, heheh.
Gembul, sebenarnya kakak tidak ingin merayakan ulang tahunmu. Takut kamu akan menagihnya untuk tahun tahun berikutnya. Soalnya, ulang tahun ga harus dirayakan dengan kue sebagai bentuk kasih sayang kami. Tapi selalu yang harus kamu ingat dek, kasih sayang kami tidak tercurah saat hari ulang tahunmu saja. Tapi setiap hari.


Selamat ulang tahun dek. Besok kalau kamu sudah mengerti, akan kakak jelaskan bagaimana cara yang manfaat merayakan ulang tahun, dan apa makna ulang tahun yang sebenarnya.


Jono: "Eh Joni, lihat tuh. ceweknya cantik buangeettt... gila.. :o "
Joni: "Siapa? ohh, itu. iya ya, cantik banget.. tapi tau ga Lu?"
Jono: "Ape, Joni?"
Joni: "Dia tuh dah punya suami, anak orang tajir bro.. kalah Lu sama dia."
Jono: "Ahh.. kalah dong Gue ya.. Dia sih lahir duluan.. makanya ketinggalan deh dapetin tuh cewek.."
Joni: "yeeee... Elu tuh yang lahirnya belakangan.. (sambil noyor)"
Jono: "ehh.. dia yang keduluan......."
Joni: "Elu yang belakangaaannn... (nabok)"
Jono: “kok lo jadi anarkis sih.. dia yang lahirnya keduluaa a a a a an..(pencet hidung Joni)”
Joni: “Elu lancang ya… (mukul kepala Jono pake asbak)”
Jono: “GILA… sakit broooo.. (lempar helm)”
Joni: “eeettttdahhh… jambret Lu..sakit.. (tak berdaya)”
Jono: “haha, nah Lu, oke deh Gue emang lahir belakangan.. tapi Lu mati duluan.. byee.. (pencet hidung Joni sampai tak sadarkan diri)”
Tapi…..
Jono: “Kok…  :/ Jon…. Jonii… Joniii… (Jono mengoyak –koyak tubuh Joni)
           tidaaaaaaaaaaaaa a a a akkkkk!!!!!!!
Joni: (mencoba membuka mata) “Gue belum mati, kupreettt”
Jono: “ohh.. belum ya.. yaudah (pencet hidung Joni lagi)”
Joni: “ka..kaa..kaa…mpreett..preett.. Lu.. (memejamkan mata)”
Jono: “Jon.. Jonii… bangun Joni.. (mengecek hidung) Joni…Lu udah matiii?????
Joni: “udah”

Jono: “TIDA A A A A A A A A AKKKKK ! ! ! ! ! ! ! “

Pukul 22.35 semua lampu ruangan kumatikan kecuali kamarku. Aku tak bisa tidur kalau kamar gelap. Meskipun Abang protes terus tapi dengan rayuanku akhirnya dia kalah. Abangku hanya manggut – manggut dan suka mencubit pipiku.
Kulihat Abangku langsung terlelap. Mungkin dia lelah. Mulai hari ini setelah mengajar jam sekolah Abang member materi les, soalnya UN akan segera dilaksanakan. Abangku seorang guru Bahasa Inggris di SMA Negeri  Surabaya.
Aku belum bisa tidur. Lama aku menatap langit – langit kamar. Berkali – kali ku lihat jam, waktu lama sekali berputar. Aku bolak – balik posisi tidurku berharap mendapat posisi yang nyaman. Hasilnya nihil. Ya Allah..
Ketika ku balik badan ke arah Abangku, sejenak aku menatapnya. Ku lihat wajahnya yang bulat dengat jenggot tipis didagunya. Ku nyamankan posisiku, ku pandangi Abangku lekat – lekat, aku tersenyum. “Mungkin ini sudah skenario dari Allah. Aku tak pernah menyangka bisa berada diposisi ini. Menatap Abang, bisa seranjang dengan Abang, kenapa bukan orang lain. Inilah takdir.” Gumamku dalam hati.
Iya, aku tak pernah menyangka. Entah, kenapa aku bisa menikah dengannya. Tiga tahun berlalu. Memang perkenalan kami cukup singkat, lima bulan. Setelah masa itu Abang nekat melamarku. Ku tanakan pada ibu dan kakak perempuanku. Kakakku menjawab,
“Kalau tidak ada alasan untuk menolak kenapa tidak.”
“kalau ayah sama ibu setuju saja, dia dari keluarga baik – baik, agamanya juga bagus. Benar kata kakakmu” Imbuh ibuku.
Dengan berbagai pertimbangan akhirnya ku iya kan lamaran Abang. Semula aku terkejut, kok Abang seperti ini. Sikapnya, sifatnya jauh dari apa yang aku bayangkan. Sama sekali dia bukan tipeku, bukan dambaanku. Awal – awal penyesuaiannya agak susah, tapi lama – lama aku mulai nyaman.
Tapi walaupun begitu aku sayang sama Abang dan akan terus menyayanginya. Tahun pertama pernikahan kami allah menghadiahkan seorang putri cantik. Kami beri nama Fathiya Azzahara. Dia begitu mirip dengan Abang, mukanya bulat. Tapi matanya mirip denganku, belo dengan bulu mata yang lentik. Cantik sekali. Alhamdulillah ya Allah, semoga dia kelak jadi wanita yang sholeha, cantik luar dalam. Aamiin.
Aku teringat beberapa hari yang lalu. Hari itu dan tiga hari kedepan, kantor ditempatku bekerja akan diadakan training. Aku ikut serta didalamnya. Jam 08.30 acara dimulai. Ketika pintu masuk terbuka semua mata tertuju pada tiga orang yang memasuki ruangan. Ada dua laki – laki dan satu perempuan. Mereka lalu berkenalan dan memulai training.
Entah kenapa aku semangat menjalani training itu. Aku begitu antusias. Salah satu trainernya lah yang membuatku semangat. Dia bernama Indra Lukmana. Umurnya 27 tahun selisih lima tahun denganku. Aku melihat dia sebagai sosok yang sangat berwibawa diusianya yang masih tergolong muda, tegas, penuh semangat, suka humor, cerdas dan kharismatik. Sepertinya pemahamannya tentang agama juga bagus. Selalu aku tertegun saat memandangnya. Ini lho idamanku.
Suasana selalu ramai jika dia yang mengisi trainingnya. Dia selalu berhasil membuat bercandaan yang tidak garing. Semua orang simpati kepadanya. Pokoknya dia bisa membuat hariku berseri disaat training. Tapi memang tak bisa dipungkiri emapt hari training membuatku lupa akan Abangku. Membuatku berangan – angan andai dia yang jadi Abangku, sesuai keinginanku. Astaghfirullah…astaghfirullah!! Ampuni  hamba ya Allah. Seketika langsung ku sms Abangku, kutanya dia, sedang apa. Demi membunuh pak Indra di otakku. Terus seperti itu, ketika aku teringat pak Indra ku sms Abangku.
Tak terasa aku menangis, ku usap – usap kening Abangku. Ku tatap matanya yang tengah terpejam. Takdir Allah memang indah. Andai saja aku dijodohkan dengan orang yang aku dambakan yang sesuai dengan keinginanku pasti aku tidak akan menjadi seperti ini. Pasti aku akan manja, dan semua hanya datar karena semua berjalan lurus. Tapi kalau dengan Abangku, aku bisa belajar bagaimana menghadapi sifatnya yang cuek, tidak peka, tidak perhatian, suka jahil tapi jatuhnya pasti aku marah, tidak mau mengalah dan disalahkan. Pernah kami berselisih paham namun tidak lama, karena aku paham emang Abang seperti itu. Kami diciptakan untuk saling melengkapi, dan dari situ aku belajar memahami dan menanggapi sifat Abang. Semua sudah digariskan untukku.

Waktu menunjukkan pukul 23.15, mataku terasa berat. Ku kecup kening Abang,  tenang Bang, tetap kaulah yang kucinta. Ya Allah, terima kasih.

Siapa sih yang mau jadi orang tidak kaya? Siapa sih yang mau jadi orang susah? Siapa sih yang mau hidup berkekurangan? Kamu? Dia? Mereka? Atau aku? Tidak! Sama sekali bukan sebuah mimpi, bukan sebuah cita – cita, bukan sebuah keinginan, bahkan dengan membayangkan semua itu saja rasanya sudah menderita. Tapi apa daya sih, posisi itu memang ada, banyak! Aku kalau disuruh memilih, aku pasti tidak akan mau memilih posisi itu. Mau apalagi deh, semua sudah jadi jalanNya kok, mungkin lebih tepatnya hasil dari perbuatan yang telah lalu. Mungkin pendidikan orang tua yang rendah jadi pekerjaan yang didapat juga tidak bisa menghasilkan uang banyak. Aku tidak mau menyalahkan orang tua ku. Karna pasti orang tuaku sebenarnya juga tidak mau berada di posisi ini.

Sebagai anak dari keluarga yang “sederhana” yang kehidupannya biasa – biasa saja aku mencoba memaknainya secara bijak. Mau mengeluh tuh rasanya ga bisa. Melihat orang tuaku saja rasanya sudah kasian kalau aku mau berkeluh kesah. ayahku, lelaki hebat penakluk segala musim, dari musim tanaman apa saja tangan kuat ayah ikut andil dalam penggarapannya. Tapi bukan tanaman kami sendiri. Ayahku seorang buruh tani. Ibuku.. ibu rumah tangga biasa, tapi sering kali ibu juga ikut ke sawah misal ada yang minta jasanya, nanem padi, buruh tanaman tembakau atau lain – lain. Itu pun kalau ada yang butuh jasanya. Aku, anak sulung sekaligus anak bungsu, alias semata wayang. Ga punya saudara euy, ga ada hiburan, ga ada yang diajak saling berbagi. Tapi, syukurlah, ibu dan ayah jadi tidak berat untuk membiayai sekolahku.

Besok senin uda mau ujian kelulusan, entah ujian praktik, uas, unas. Sebenarnya aku sudah siap menghadapi itu semua, belajar oke, badan uda fit, peralatan siap. Tapi ada satu hal yang aku benci dan aku takut menghadapinya. Masalah administrasi, aku takut menghadap ayah ibu. Tapi mau bagaimana lagi, itu syarat sahnya ikut ujian. Huuhhffhht!
“oohh, ya besok diusahakan ndug. Ayah masih punya gabah beberapa karung, besok biar digilingke ibumu, biar dijual berasnya, sebagian buat makan sehari – hari. Kalau masih kurang ya nanti ayah carikan.”
Ayah, aku akan buktikan, akan aku tuntaskan segala penderitaan ini. Kalau pun ayah mau tetap bertani,biar hasilnya ayah tabung ya. Doakan aku.

Ayah, Ibu, doa kalian terkabul. Setelah selesai ujian, aku mengikuti tes di salah satu Perusahaan. Tak ku sangka, tak ku duga, tak ku nyana, aku lolos. Padahal, aku tak berharap banyak bisa diterima disitu. bayangkan saja, tes bidang akademik aku tidak bisa ngerjain. Memang, aku kurang pintar di bidang itu. Tapi, mungkin ini rejeki kita yah, bu. Ini jawaban dari permasalahan hidup kita. Kita sudah saatnya bangkit dari keterpurukan. Dan tau ga yah, bu, mulai minggu depan aku dah mulai kerja, padahal pengumuman kelulusan belum dilaksanakan. Subhanallah walhamdulillah walaa illahaillallah wallahu akbar.

“Yah, ini ada sedikit tabungan Nabil buat ayah. Buat benerin motor ayah aja, buat servis.” Ayahku menerimanya dengan mata berkaca – kaca. Aku segera berlalu agar air mata ku tidak tumpah didepan ayah. Sudah 6 bulan aku bekerja, Alhamdulillah aku bisa menabung untuk aku berikan kepada ayah dan ibu. Kembali Allah menurunkan berkahnya untukku. Baru 6 bulan bekerja perusahaan tempatku bekerja sudah mengangkat ku sebagai pegawai tetap. Karena mereka menilai kinerjaku sangat bagus dan bisa diandalkan. Ketika ibu ku mendengar kabar itu beliau langsung bergembira, ini buah dari prihatinmu selama ini nak, ibu bilang begitu padaku.

“assalamu’alaikum mbak Nabil, apa kabar? Sekarang kuliah atau kerja mbak? Dimana?” sms dari adik kelasku.

“wa’alaikumussalam wr wb, Alhamdulillah baik dek. Kamu?  Sekarang aku kerja dek, di perusahaan X, di Solo. Kamu bagaimana sekolahnya?” balasku.

“Alhamdulillah baik juga mbak. Wuah, langsung kerja ya mbak, hebat. Beruntung banget. Hehe. Sekolahku lancar aja kok mbak, mulai bulan ini sudah mulai Prakerin.”

“biasa saja dek, mungkin sudah rejekinya. Ohh, yang rajin sekolahnya ya.”

“iya mbak, sip. Mbak kasih tau dong kiat biar bisa langsung dapet kerja.”

“wuadu, gimana ya dek. Kalau yang aku lakuin dulu sih Cuma do’a sama usaha. Sholat yang rajin, abis itu do’a yang bener dan konsisten, dulu aku doa’anya gini dek, ‘ya Allah golongkanlah hamba sebagai anak yang selalu beruntung, dekatkanlah jodoh hamba yang sesuai hati nurani hamba, dan mudahkanlah hamba mencari pekerjaan setelah lulus sekolah nanti’ itu aku doaku dari kelas satu sampai dapet kerja dek, Alhamdulillah makbul. Terserah kamu sih dek format doanya mau yang bagaimana. Hehe. usahanya juga harus kenceng ga boleh ngeluh. Gitu aja sih, ga ada kiat khusus kok. ”

“ohh, siap deh mba.  makasih banyak ya mbak.. besok aku sms lagi ya.”

“iya dek.”Itu sms ku sama adik kelasku. Katanya dia ngefans sama aku. Entah apa yang dia kagumi dariku. Aku sendiri tak mengerti.

Ada lagi temenku yang bertanya tentang kiat ku mendapat pekerjaan dan bisa langsung jadi pegawai tetap.
“Nabil, kok kamu beruntung banget sih. Belum lulus dah dapet kerja, sekarang sudah jadi pegawai tetap. Enak banget ya.”
“hehe, Alhamdulillah. Rejeki sudah diatur, kamu juga beruntung kan udah bisa kerja.”
“iya juga sih, tapi kerjaan kamu lebih enak, ringan dan gajinya juga lumayan.”
“Alhamdulillah, ga ada yang instan. Semuanya melalui proses.”

Iya, proses. Bersakit sakit dahulu bersenang senang kemudian. Ingat kan peribahasa itu. Sebelum aku merasakan bahagiaku saat ini, sebelumnya aku menelan perihnya hidup dulu. Di hidupku yang dulu serba “sederana” mengajariku tentang banyak hal. Terutama bersyukur. Dulu waku masih sekolah, temen temen pada naik motor, aku naik sepeda. Tapi aku bersyukur, selain bisa sekalian olahraga, juga ngirit ongkos.  Sekadar menghibur hatiku. Dulu, aku sama sekali tak punya banyak uang, sekalinya aku bisa nabung, pasti sudah habis untuk fotocopi lah, beli ini itu lah. Habis. Pokoknya dulu tuh serba susah. Tapi justru itu semua yang mndekatkanku dengan  Allah dan keberuntungan itu. Aku mulai puasa senin kamis, rajin dhuha, tahajud, lebih menghargai apa yang aku punya, selalu khusnudzon pada Allah. Aku juga ikut organisasi osis dan rohis. Yah, penngalamanku tambah banyak, lebih mengerti tentang berbagai karakter, dan dari situ aku mulai bisa percaya diri kalau aku bisa. Selama berorganisasi melatihku untuk jadi jiwa yang bisa bertanggung jawab, mandiri, bisa diandalkan, dan tidak gampang mengeluh, ada masalah langsung hadapi. Selesai.

Mungkin itu yang jadi pertimbangan perusahaan saat menerimaku jadi pegawai. Aku sudah mempunyai keterampilan dan bisa dipercaya. Segala puji hanya bagi Allah. Sekarang tinggal ku nikmati hasil nya dan terus berjuang, inilah awal dari perjuangan yang baru. Selalu mudahkan langkah hamba ya Allah. Terima kasih atas segala kesusahan yang engkau limpahkan kepada hamba, ini menjadikan hamba lebih mengerti tentang makna hidup. Jangan jadikan hamba sebagai jiwa yang sombong yang Allah atas apa yang telah hamba peroleh, lindungi hamba dari sifat kikir, dan golongkanlah hamba sebagai hamba yang pandai bersyukur, aamiin.

Digolongkan sebagai orang yang beruntung, sudah. Dapet kerja juga sudah, tinggal jodohnya yang belum. Do’a yang kenceng lagi, Nabil…… ^^



Meski gerimis kami tetap melanjutkan perjalanan menuju tempat incaran kami. Setelah perut kenyang dengan bakso hasil icip – icip di tempat yang sudah kami rencanakan sebulan yang lalu, kami pergi ke swalayan yang tak jauh dari tempat makan kami tadi. Oh iya, perkenalkan, nama ku Aliya. Aku pergi bersama Isna. Kami satu kantor di salah satu perusahaan di Surabaya. Mumpung hari ini hari Sabtu dan jam ngantor juga hanya setengah hari aku dan Isna jalan – jalan. Aku mengantar dia beli ikat pinggang incarannya.

“Ga ada nih Ya, cari ke tempat lain yuk?”

“Yakin ga ada? Tangan hampa dong. Sini deh liat barang – barang yang lain dulu.” Ku layangkan pandanganku di deretan baju – baju. Aku ambil satu, dan cocok. Bungkus!

“Kok malah jadi aku yang belanja sih?”

“haha, yuk cari tempat lain. Kita ke Mall aja, sambil jalan – jalan. Yuk, cuss!”

Kami memang suka jalan – jalan berdua tiap akhir bulan. Tau kan maksudnya? Entah pergi ke pasar tradisional untuk cari makanan enak atau pergi ke mall dan berjalan – jalan hanya sekadar melihat – lihat. Tapi ada satu yang jadi makanan wajib kami, “Es Krim”. Yes, ice cream. Makanan satu ini emang tak ada matinya, semua umur gemar memakannya, kecuali yang ga gemar. Hoho

Setelah muter – muter, bolak – balik, naik turun mall, akhirnya ketemu barang incaran Isna. Dan acara selanjutnya adalah hunting es krim. Yummy! Es krim Mc Donald choco top, es krim vanilla dicelup ke coklat hangat trus nanti coklatnya beku karena kena es krim, ulala.!. Kami cari tempat ternyaman untuk menikmatinya. Mulai deh, kalau cewek ngumpul, apa sih yang dibicarakan. Sudah bisa ditebak kan?

“eh Ya, aku galau nih, gimana dong. Aku takut terlalu berharap sama Mas Agung. Dia tuh ga jelas maunya apa, ga enak tau digantungin. Aku butuh kepastiaaaaan..” dia lampiaskan kekesalannya dengan melahap eskrimnya hingga belepotan.

“haha, dasar ababil. Kalau ga jelas ya udah diemin aja. Ga tegas banget sih tuh cowok. Mumpung  belum terlanjur jauh.”

“iya juga sih. Tapi susah Ya, cowok kaya Mas Agung tuh ga banyak. Aku takut ga nemuin lagi.”

“xixxii, dasar cuplis. Jangan risau deh, jodoh kita itu cerminan kita, jadi perbaiki diri terus, banyak doa, yakin deh, cowok seperti apapun yang kita inginkan pasti kita dapat. Orang yang baik itu untuk yang baik, begitu juga sebaliknya.”

“Nah loh, dakwah deh.”

“Isna sayang, itu penting dan harus di ingat. Daripada kita pusing mikirin cowok yang ga jelas pangkal ujungnya, mending kita fokus ke jalan hidup kita, memperbaiki diri.”

“Iya – Iya. Injih. Eh, gimana Mas Ilyas?”

“Maksud loe? Please deh, jangan sebut dia. Dia memang idamanku, tapi aku juga tak tau apa yang dia rasakan padaku. Mending menerima apa adanya Mas Kiki, walaupun kadang ngeselin, tapi kita saling melengkapi. Coba kalau aku sama Mas Ilyas, aku bakal ketergantungan dan tidak mandiri. Intinya adalah, apa yang kita pikirkan baik untuk kita belum tentu baik untuk kita, dan begitu juga sebaliknya.”

“baiklah Nyai, paham. Pulang yuk. Tapi mampir sholat di kantor dulu ya.”

Jalanan padat merayap. Maklum weekend. Kami manfaatkan saja waktu itu untuk berbincang – bincang.

“ga nyangka ya kita bisa bareng – bareng gini. Inget ga waktu dulu kamu pertama kali masuk kerja, kita kan ga saling kenal, tapi Allah mempertemukan kita. Ingat waktu dulu kita berkenalan, waktu tes kita saling berpandangan, “aku ga bisa.” Aku waktu itu pesimis banget. Hanya ada 3 kemungkinan, aku dan kamu, kamu dan Tia atau Tia dan aku yang akan diterima.” Oceh Isna.

“haha, iya tuh sama. Dulu aku tuh dah pasrah, plus angkat tangan. Bayangakan saja, surat menyurat. Sama sekali bukan basicku. Aku bener bener bersyukur banget, memang uda rejeki kita kali ya.” Jawabku menyetujui kalimat Isna.

“Tepat sekali.”

Dan ternyata banyak sekali persamaan kami, mulai dari ketakutan kami dulu dalam berpakaian, soalnya dulu kerja ga boleh pakai jeans, padahal baju kerja kami ga punya, baru lulus sekolah soalnya. Lalu, soal kegiatan kami waktu dulu, kami suka terlibat dalam organisasi sekolah, kesamaan kami tentang masalah selera makanan, masalah keuangan, keadaan rumah. Dan lain sebagainya. Saking konsentrasinya kami ngobrol, tak terasa sudah sampai kantor. Kami masih melanjutkan pembicaraan kami.

“Eh, rencana kita batalin dulu yuk. Kalau mau pergi liburan bareng keluarga kita tunggu sampai keajaiban bonus tiba saja. Kantong kempis nih.” Kataku.

“Bener nih, budget jadi obrak abrik nih gara – gara beli barang tak terduga. Emang uang mu buat apa kok uda sekarat?”

“Uda masuk pos masing – masing. Hehehe”

“Sama nih, uangku uda aku kasih ibu.”

“Eh, Is. Pernah ga kamu berangkat kerja ga bawa uang sepeser pun? Saking keringnya kantong.”

“Iya tuh, pernah. Kalang kabut deh. Kadang aku juga bawa uanng kantor sih, jadi aman kalau buat jaga – jaga.”

“Jiah, mending tuh. Aku tuh pernah dan hampir seperti itu tiap akhir episode. Bayangkan saja. Tapi aku sih cuek saja. Yang penting bensin full. Nanti kalau bensin abis, atau ban bocor, atau motor mogok tinggal datang ke bengkel. Gampang kan?”

“Trus bayarnya?

“Tinggal bilang saja. ‘Pak atau Mas, ini saya tidak bawa uang sama sekali. hp saya saya tinggal saja ya, nanti saya ambil. Atau Mas mau KTP saya, No hp, atau alamat. Udah, gampangkan.”

“Hahaha, dasar. Ga gitu juga kali..” Isna tertawa dengan nada girang.

“Loh, ya harus gitu dong. Tapi percaya atau tidak, alhamdulillah wasyukurillah terima kasih ya Allah, sama sekali hal itu belum terjadi. Apapun kalau niatnya ikhlas karna Allah, insyaAllah dijaga dan dijamin keselamatannya. Aku kan niatnya Ikhlas mau kerja cari rejeki buat ibu bapak adik kakek nenek, dan Allah membantuku. Hebat kan.”

“Bener sekali. Kuasa Allah memang nyata.”

“Semoga menambah kuat iman kita. Ketika harta kita tak punya, jangan pernah risau dan takut. Dengan Allah cukup. Meski kantong bolong kosong blong, yakin saja Allah tak pernah lengah penjagaanNya. Jika dari hati niat tulus ikhlas karena Allah, pasti semua akan dimudahkan. Cukup Allah yang ada dihati. Memang sih kedengarannya klise, tapi kalau sudah dibuktikan dan sudah merasakan manisnya kasih Allah, yakin deh, semakin kita akan mendekat dengan Allah. Bukankah hidup bersama Allah itu begitu indah?  Jadi, kalau pas ga punya uang itu aku ga pernah mengeluh, hanya aku adukan kepada Allah. Semoga Allah memberikan kemudahan dan keselamatan tiap langkahku. Gitu aja. Trus, aku juga punya amalan setiap berada diperjalanan. Dengan membaca Istigfar, sholawat, tasbih, tahmid, takbir, tahlil. Nanti tau tau uda nyampe kantor. Sungguh, Maha Besar Allah. Jadi merinding nih. Buruan sholat yuk, aku dah ditunggu ibu.”

“Siap bu Nyai. Heheh. Luar biasa.! HASBUNALLAHU WA NI'MAL WAKIL,
NI'MAL MAULA WA NI'MANNASHIR

Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.

Hawa panas mulai merangkak seiring berputarnya waktu. Jam setengah tiga giliran kami. Sudah satu jam kami menunggu. Tapi anak – anak tak menghiraukannya, yang penting sebentar lagi naik odong odong. Tapi bukan odong odong nya anka balita ya. Bentuknya tuh kaya sepeda dengan empat kendali. Aku, dipaksa anak anak untuk menemani mereka, sebagai sopir. Bayangkan saja, Laras, Rika masih kelas satu SD, Alifah, Rossi kelas 3 SD. Kalau mereka ga ada yang jagain sungguh “mbebayani”.
Sebelumnya aku ga boleh sama ibu. Tiwas kesel, katanya. Tapi kalau menolak ajakan anak anak rasanya aku jahat banget, merenggut kebahagiaan mereka, aseek.. ^^ . tapi bener, capek berat. Tapi demi adikku dan temen temennya, ga apa lah, sekali ini. Dijalan mereka melimpahkan kendali sepenuhnya padaku. Aku yang masih amatir jelas gugup. Ini masalah nyawa, 4 anak ada ditanganku. Tapi syukurlah, semua berjalan selamat walaupun hampir terjun dikali tepian sawah. Tapi gurat wajah senang mereka membunuh penatku.
Satu jam sudah berkeliling dengan odong-odong. Waktunya pulang. Kembali aku pegang 4 nyawa anak, aku bonceng anak –anak dengan bebekku, Laras di depan tiga anak lainnya dibelakang. Sesampainya dirumah tiga anak itu, aku disambut ibu mereka. “matur nuwun ya mbak”. Dengan raut sumringah. Waw, mungkin mereka berterima kasih demi anak anaknya aku rela bercapek capek ria. “ohh, nggih mbak sami-sami”. Aku dan Laras langsung pulang, haus sangat. Bebekku aku parkir, langsung aku lari kedapur, “air..air..aiirr. mana air”
Semenjak nonton acara Islam Itu Indah di TransTV, tentang menyayangi anak yatim dan anak anak kecil, aku jadi mulai antusias dengan anak anak dan mulai suka dengan anak – anak. Apalagi sekarang aku punya  adik kecil, semakin banyak peluang untuk praktik. Hehe. Aku lupa apa yang disampaikan ustad Maulana, tapi ini aku carikan kutipan lain. J
Membahagiakan anak adalah tabir neraka, dan menjadi tebusan dosa. karena itu perhatian terhadap keluarga harus selalu kita utamakan. Bila tidak, boleh jadi keluarga kita akan menjadi sumber fitnah.
Dan dalam Al-Qur’an Surah al-Anfal ayat 28, Allaah Swt. telah berfirman yang artinya:
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Oleh karena itu kemudian Rosulullaah Saw. berpesan:
“Cintailah anak-anak dan kasih sayangilah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanya kamulah yang memberi mereka rizki.”
“Barangsiapa menjamin untukku satu perkara, aku jamin untuknya empat perkara. Hendaklah dia bersilaturahiim (berhubungan baik dengan keluarga dekat) niscaya keluarganya akan mencintainya, diperluas baginya rizkinya, ditambah umurnya, dan Allaah memasukkannya ke dalam surga yang dijanjikan-Nya.”



“Mbak, Prameks satu.”
“Silakan mbak, sepuluh ribu.”
“Terima kasih.”
Ku perhatikan tiketku. Disitu tertera jam berangkat kereta, pukul 15.17. ku lihat jam tanganku, pukul 13.23. masih lama.Ku tapaki lantai konblok kotak – kotak kecil menuju deretan tempat duduk di ruang tunggu. Masih sepi. Ku lihat hanya dua orang, pasangan suami istri nampaknya, sekitar usia 50an tahun.

Ku pilih kursi yang akan ku jadikan tempat membuat waktu selama kurang lebih dua jam. Dan takkan ku relakan waktuku berlalu begitu saja. Ku rogoh tasku dank u ambil buku untuk membunnuh waktu. Ketika perjalanan jauh barang itu teman terbaikki menghabiskan detik demi detik. Toh, dengan catatan bacaan itu yang bagus dan bermanfaat.

Ku buka lembar demi lembar. Disela – sela itu terlihat mulai banyak berdatangan calon penumpang yang akan bepergian. Entah ingin berangkat atau pulang ke tempat tujuan masing – masing. Sesekali angin sepoi – sepoi berlari pelan membawa sapuan debu dan beberapa tissue. Tissue? Masih ada saja orang yang tidak tahu letak tempat sampah. Tapi kalau tidak ada orang seperti itu petugas kebersihan tidak akan makan. Ya sudahlah.

Mata ini bergerak otomatis teruju pada gerak lanngkah orang ang menuju ruang tunggu. Ku lihat seorang laki – laki membawa tas ransel besar yang kelihatannya penuh barang di bahu kirinya dan tangan kanannya menjinjing kardus biscuit bertali rafia hitam, mungkin dia baru atau akan mudik. Beberapa saat kemudian seorang bapak – bapak sekitaran 45 tahun keatas usianya. Dengan ransel dipunggung, memakai topi, dibawanya Koran, sambil ia berjalan dengan diiringi lagu Judika Akulah yang Kau Sakiti dari ponselnya. Ku perhatikan bapak – bapak itu, dibolak – bolik korannya sambil sesekali melongok ke ponselnya. Ternyata dia sadar kalau sedang aku perhatikan, ditatapnya aku dan aku mengangguk pelan dengan senyum terkejut.

Lalu mulai berdatanganlah para calon penumpang lain. Ibu – ibu yang membawa barang belanjaan, mbak – mbak dengan jilbab rapid an ransenya, mungkin seorang mahasiswa. Nenek dengan anak besera cucunya, pasangan muda suami istri dengan bayi mungilnya, mas – mas, bapak – bapak sengan gaya masing – masing. Ruang tunggu mulai penuh.

Saat ku rasa mata ini lelah membaca, ku lihat jam dinding di sebelah kanan ruang tunggu dan tergantung sendirian disana, jam 14.25. masih lama lagi. Ku istirahatkan mataku sejenak dank u putar – putar pandanganku. Ku lihat arah depan, terarah pada pasangan suami istri yang berumuran setengah abad tadi. Dengan memberi kode kepada sang istri, dimintanya untuk menggarukkan punggung. Romantis sekali. aku tersenyum.

Ku alihkan pandanganku. Kini tertuju pada ibu – ibu dan anak – anak sekitar 2-4 tahunan. Sang ibu dari anak yang duduk di deretan kiri paling depan nomor dua terlihat mengulurkan makanan kepada anak yang duduk di depannya. Terlihat wajah sumringah dari adik kecil itu sembari tangan mungilnya menerima sepotong biscuit.
“Bilang apa dek? Terima kasih mbak.”
Dengan senyum yang mengembang diucapkanlah kata itu pada ibu yang berbaik hati kepada anaknya. Aku kembali tersenyum, keramhan, saling berbagi dan ketulusan masih bisa ku temui.

Aku kembali menatap berderet – deret kata digenggamanku. Kali ini terdengar dari belakang kursiku pembicaraan seorang bapak – bapak dengan seorang yang nun jauh  disana lewat telepon. Dari logatnya dia berasal dari luar Jawa. Suaranya keras memekakan telinga. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Yang jelas suaranya sedikit membuatku kaget.

Angin yang tadinya semilir sepoi – sepoi kini berbah menjadi liar. Semakin kencang mengusik dedaunan dan mengayunkan ppohonan. Udara dingin menyapa. Tak hanya itu, angin juga menggiring awan – awan mendung beruntun. Mungkin karena awan – awan itu terbawa dengan kencang dan berbenturan, mereka mulai menangis menjadi rintik – rintik gerimis, lalu hujan mulai bergemuruh.

“Perhatian – perhatian. Jalur tiga – jalur tiga, kereta dari arah timur, kereta Prameks dari arah timur tujuan Kutoarjo Yogyakarta, silakan untuk calo penumpang untuk mempersiapkan diri, perhatikan barang bawaan anda, selamat jalan dan teerima kasih.” Semua orang bergegas.

Alhamdulillah tak perlu aku berputar – putar mencari krsi. Begitu aku masuk ku temukan ruang kosong. Ku nyamankan dudukku. Kali ini, ku dapati pandangan yang membuatku merasa iri. Tak jauh dari tempat dudukku, ada penumpang warga Negara asing. Ku lihat dia sedang berbincang dengan seorang ibu – ibu mungkin sekitar 40 tahunan. Lancar sekali bahasa Inggrisnya. Seusia itu? Tapi tampaknya ibu itu juga orang yang berpendidikan. Terlihat dari buku yang dia bawa,  VITRIFIVATION IN ASSISTED REPRODUCTION. Bukunya tebal sekali, aku tak mengerti itu buku tentang apa. Awal – awal aku mengerti apa pembicaraan mereka. Ibu itu menanyakan dari mana bule itu, tapi tak terdengar jawabannya yang samar – samar itu olehku. Setelah itu aku tak mengerti apa pembicaraan mereka. Sesekali ku lihat si ibu seperti mendeskripsikan sesuatu dengan gerakan tangannya. Tak jaang mereka tertawa, mungkin ada yang lucu  diperbincangan mereka. Akrab sekali.


Aah.. pasti asyik sekali bisa berbincang dengan orang asing memakai bahasa internasional. Jujur, aku iri sekali. ku kernyitkan dahiku. Ku tanya pada diriku, apa kabar bahasa Inggrisku ya? Dulu sempat lancar, sekarang? Beginilah ilmu yang didapat tapi tidak dipraktikan dan diamalkan. Terbang bersama wakru tanpa nilai. Ya Allah, ampuni hamba.