Jumat, 15 Agustus 2014

Rindu Suara (Yang) Adzan Di Mushola Ar-Rojiun


“Nanti jangan lupa dimakan ya. Ibu bawakan makanan kesukaanmu. Tapi cepet – cepet dimakan ya, nanti keburu ga enak.”
Ahh.. ibuku sayang, telur sambal merah buatanmu memang paling rancakbana deh. Ku masukkan bekal makanan dari ibu ke tasku. Ku cium tangan ibu dan bapak, berpamitan, dan ku tancap gas bersama si bawel adikku Roby menuju stasiun. Iya, akau akan mengunjungi eyangku di Ngawi. Aku akan tinggal beberapa minggu disana, mumpung sedang liburan semester.

Perjalanan yang ku tempuh dengan kereta terasa lebih nikmat. Mataku dimanjakan dengan pemandangan hijaunya hamparan sawah sambil sesekali ku lahap telurku. Ku lihat ibu – ibu sedang menanam padi atau “tandur”, bapak – bapak yang sedang menuai padi rawatannya. Sudah terbayang, betapa capeknya mereka, kepanasan, pegel- pegel. Besarnya perjuangan mereka untuk para pengonsumsi nasi. Kadang aku suka merasa prihatin, jika ada temenku yang membuang begitu saja nasi yang tak habis dimakannya. Dia enak, tinggal menikmati nasinya tapa harus menanam dan merawatnya. Coba kalau dia tahu prosesnya, pasti dia akan lebih menghargai. Ku habiskan bekalku hingga butir nasi terakhir untuk penghargaanku pada petani padi.

Menuju rumah eyang, aku harus menempuh 15 menit lagi dengan ojek. Sesampainya disana eyang langsung menyambutku.

“Assalamu’alaikum, yang.”

“Wa’alaikumussalam, cah ayu. Sendirian saja kamu, Din?”

“Iya yang, yangkung mana yang?”

“Sebentar, yangti panggil dulu. Kamu istirahat dulu gih! Udah yangti siapin kamarnya.”

Yangti selalu menyambutku dengan persiapan khusus. Maklum, aku cucu kesayangan karna aku sering berkunjung. Beda dengan cucunya yang lain yang tinggal jauh – jauh diluar pulau.

“Andini, sudah lama kamu nak?” sapa yangkung.

“Baru saja kok kung.” Ku raih tangan  tuanya yang telah mengukir banyak cerita seiring usianya yang sudah sepuh, ku cium.

Mereka hanya tinggal berdua. Mereka masih harmonis. Saling setia, saling menerima satu sama lain, yangkung juga romantis, kata eyangku. Ahh.. perlu dicontoh.

Adzan Ashar berkumandang, aku bersihkan diri ku temui sang Maha Cinta. Ku panjatkan syukur atas rahmatNya dan perlindunganNya, aku bisa sampai Ngawi dengan selamat dan utuh. ^^

Hari pertama di Ngawi yangti mengajak ngobrol masalah kegiatanku dikampus dan banyak lagi. Waktu terasa cepat berlalu. Adzan maghrib berkumandang. Tapi, ada yang berbeda, suaranya begitu khas mendayu – dayu. Subhanallah, merdu sekali. aku terdiam, aku nikmati alunan panggilan Rabbku. Yangti lalu memanggilku, diajaknya aku untuk ikut sholat berjamaah di Mushola.
Diperjalanan, bersama warga lainnya kutelusuri jalan setapak berbatu menuju mushola. Ibu – ibu yang berjalan bersamaku terus menanyakan tentangku kepada yangti. Aku hanya tersenyum cengar cengir sementara yangti yang menjawab. Hampir sampai di Mushola tujuan kami, ku lihat dari kejauhan papan nama di Mushola itu. Mushola Ar-Roji’un.

Ketika sampai dan rombonganku masuk mushola, tampak seorang pemuda lalu berdiri menghampiri microphone, dikumandangkannya iqomah. Dan ternyata, dialah pemilik suara emas itu. Reflek aku pandangi dia, ya Allah, tampan.

Aku jadi rajin sholat berjamaah disana. Apalagi yangti selalu mengajakku, apa boleh buat. Aku tak mungkin menolak. Slalu kunikmati kumandang adzan pemuda tersebut. Aku tak berani menayakan tentang pemuda itu, aku malu.

Ahh.. Allah memang baik. Suatu ketika setelah selesai jamaah, aku keluar mushola. Sambil menunggu yangti didalam yang masih ngobrol. Aku pandangi langit, ada sinaran bulan sabit yang seakan tersenyum, menerangi malam. Tiba – tiba ada seorang bapak memanggil seseorang, disebutlah sebuah nama..

“Nak Arga”

Ku toleh sumber suara dan kulihat sang sang muadzinlah yang menjawab panggilan itu. Tadaaa… namanya Arga. Aku tersenyum.

Semakin hari, semakin terngiang jelas suara adzan itu. Ya Allah, perasaan apa ini. Wushh…wushh…wushh..pergilah. mungkin ini perasaan…………………….. aku diam. Ku pikir kata yang tepat untuk melengkapi perkataanku. Hap! Kagum. Yap, Cuma kagum, bukan cinta. Plaakk!! Ku tepuk jidatku, kenapa ku sebit kata itu. Aarrghh…!!!

Ya Allah, semakin lama aku semakin tersiksa. Tak bisa ku sembunyikan perasaan itu. Sampai – sampai yangti bisa tau gerak gerikku.

“Ganteng ya Din. Uda ganteng, suaranya bagus, anaknya ulet, pekerja keras, tanggung jawab, rajin jamaahan, sholeh, ramah, sopan, bla..bla..bla..” yangti mencoba mendiskripsikan. Aku hanya manggut – manggut. Aku semakin berbunga – bunga. Ku layangakan imajinasiku. Andai saja…… humh.. ya Allah, ampuni hamba.

Tapi hari ini rasanya aku ingin marah pada yangti. Ada satu hal yang belum dijelaskan yangti padaku. Ternyata mas Arga akan menikah. Tadi mas Arga datang kerumah mengantarkan undangan walimahan untuk yangti. Dengan senyum, walau agak ku paksakan ku terima undangan itu dengan tangan gemetar.

“Mbak Andini juga hadir ya.”

“ohh, iya mas, insyaAllah. Selamat ya mas.” Balasku.

Hariku jadi penuh kabut, kali ini tak ada yang special ketika adzan mas Arga berkumandang. Yahh.. takdir Allah. Biarlah, tak kusesali rasa iu pernah ada untuk mas Arga. Terima kasih.

Ku bungkus dua sajadah merah, untuk kado. Ku selipkan doa untuk  keduanya. Ya Allah, tapi sayang sekali aku tak bisa hadir. Hari walimahannya bertepatan dengan hari kepulanganku. Kutitipkan kadoku pada yangti, kutitipkan salam dan kata maaf karna tak bisa hadir.

Didalam kereta, ku pandangi lagi pemandangan hijau hamparan sawah.
“ya Allah, sediakan untukku seseorang seperti mas Arga. Bukan hanya suaranya saja yang bisa aku nikmati, tapi juga kasih sayangnya. Berikan aku satu muadzin, yang sekaligus akan jadi imamku.” Gumamku dalam hati. Lama lama, Tanpa sadar aku terlelap.

“Hapuslah air mata dipipi dan hilangkan lara dihati. Terimalah, semuanya adalah bagian dari hidup ini. Dengan kebesaran hati dan jiwa dirimu akan menemukan apa rahasia dibalik kehidupan yang telah dijalani. 


Kelak akan kau rasakan tiada lagi riak kegelisahan dan keresahan saat sendiri.”

0 komentar: