Rindu Suara (Yang) Adzan Di Mushola Ar-Rojiun
“Nanti jangan lupa dimakan ya. Ibu bawakan makanan
kesukaanmu. Tapi cepet – cepet dimakan ya, nanti keburu ga enak.”
Ahh.. ibuku sayang, telur sambal merah buatanmu memang
paling rancakbana deh. Ku masukkan bekal makanan dari ibu ke tasku. Ku cium
tangan ibu dan bapak, berpamitan, dan ku tancap gas bersama si bawel adikku
Roby menuju stasiun. Iya, akau akan mengunjungi eyangku di Ngawi. Aku akan
tinggal beberapa minggu disana, mumpung sedang liburan semester.
Perjalanan yang ku tempuh dengan kereta terasa lebih
nikmat. Mataku dimanjakan dengan pemandangan hijaunya hamparan sawah sambil
sesekali ku lahap telurku. Ku lihat ibu – ibu sedang menanam padi atau
“tandur”, bapak – bapak yang sedang menuai padi rawatannya. Sudah terbayang,
betapa capeknya mereka, kepanasan, pegel- pegel. Besarnya perjuangan mereka
untuk para pengonsumsi nasi. Kadang aku suka merasa prihatin, jika ada temenku
yang membuang begitu saja nasi yang tak habis dimakannya. Dia enak, tinggal menikmati
nasinya tapa harus menanam dan merawatnya. Coba kalau dia tahu prosesnya, pasti
dia akan lebih menghargai. Ku habiskan bekalku hingga butir nasi terakhir untuk
penghargaanku pada petani padi.
Menuju rumah eyang, aku harus menempuh 15 menit lagi dengan
ojek. Sesampainya disana eyang langsung menyambutku.
“Assalamu’alaikum, yang.”
“Wa’alaikumussalam, cah ayu. Sendirian saja kamu, Din?”
“Iya yang, yangkung mana yang?”
“Sebentar, yangti panggil dulu. Kamu istirahat dulu gih!
Udah yangti siapin kamarnya.”
Yangti selalu menyambutku dengan persiapan khusus.
Maklum, aku cucu kesayangan karna aku sering berkunjung. Beda dengan cucunya
yang lain yang tinggal jauh – jauh diluar pulau.
“Andini, sudah lama kamu nak?” sapa yangkung.
“Baru saja kok kung.” Ku raih tangan tuanya yang telah mengukir banyak cerita
seiring usianya yang sudah sepuh, ku cium.
Mereka hanya tinggal berdua. Mereka masih harmonis.
Saling setia, saling menerima satu sama lain, yangkung juga romantis, kata
eyangku. Ahh.. perlu dicontoh.
Adzan Ashar berkumandang, aku bersihkan diri ku temui
sang Maha Cinta. Ku panjatkan syukur atas rahmatNya dan perlindunganNya, aku
bisa sampai Ngawi dengan selamat dan utuh. ^^
Hari pertama di Ngawi yangti mengajak ngobrol masalah
kegiatanku dikampus dan banyak lagi. Waktu terasa cepat berlalu. Adzan maghrib
berkumandang. Tapi, ada yang berbeda, suaranya begitu khas mendayu – dayu.
Subhanallah, merdu sekali. aku terdiam, aku nikmati alunan panggilan Rabbku.
Yangti lalu memanggilku, diajaknya aku untuk ikut sholat berjamaah di Mushola.
Diperjalanan, bersama warga lainnya kutelusuri jalan
setapak berbatu menuju mushola. Ibu – ibu yang berjalan bersamaku terus
menanyakan tentangku kepada yangti. Aku hanya tersenyum cengar cengir sementara
yangti yang menjawab. Hampir sampai di Mushola tujuan kami, ku lihat dari
kejauhan papan nama di Mushola itu. Mushola Ar-Roji’un.
Ketika sampai dan rombonganku masuk mushola, tampak
seorang pemuda lalu berdiri menghampiri microphone, dikumandangkannya iqomah.
Dan ternyata, dialah pemilik suara emas itu. Reflek aku pandangi dia, ya Allah,
tampan.
Aku jadi rajin sholat berjamaah disana. Apalagi yangti
selalu mengajakku, apa boleh buat. Aku tak mungkin menolak. Slalu kunikmati
kumandang adzan pemuda tersebut. Aku tak berani menayakan tentang pemuda itu,
aku malu.
Ahh.. Allah memang baik. Suatu ketika setelah selesai
jamaah, aku keluar mushola. Sambil menunggu yangti didalam yang masih ngobrol.
Aku pandangi langit, ada sinaran bulan sabit yang seakan tersenyum, menerangi
malam. Tiba – tiba ada seorang bapak memanggil seseorang, disebutlah sebuah
nama..
“Nak Arga”
Ku toleh sumber suara dan kulihat sang sang muadzinlah
yang menjawab panggilan itu. Tadaaa… namanya Arga. Aku tersenyum.
Semakin hari, semakin terngiang jelas suara adzan itu. Ya
Allah, perasaan apa ini. Wushh…wushh…wushh..pergilah. mungkin ini perasaan……………………..
aku diam. Ku pikir kata yang tepat untuk melengkapi perkataanku. Hap! Kagum.
Yap, Cuma kagum, bukan cinta. Plaakk!! Ku tepuk jidatku, kenapa ku sebit kata itu.
Aarrghh…!!!
Ya Allah, semakin lama aku semakin tersiksa. Tak bisa ku
sembunyikan perasaan itu. Sampai – sampai yangti bisa tau gerak gerikku.
“Ganteng ya Din. Uda ganteng, suaranya bagus, anaknya
ulet, pekerja keras, tanggung jawab, rajin jamaahan, sholeh, ramah, sopan,
bla..bla..bla..” yangti mencoba mendiskripsikan. Aku hanya manggut – manggut.
Aku semakin berbunga – bunga. Ku layangakan imajinasiku. Andai saja…… humh.. ya
Allah, ampuni hamba.
Tapi hari ini rasanya aku ingin marah pada yangti. Ada
satu hal yang belum dijelaskan yangti padaku. Ternyata mas Arga akan menikah.
Tadi mas Arga datang kerumah mengantarkan undangan walimahan untuk yangti.
Dengan senyum, walau agak ku paksakan ku terima undangan itu dengan tangan
gemetar.
“Mbak Andini juga hadir ya.”
“ohh, iya mas, insyaAllah. Selamat ya mas.” Balasku.
Hariku jadi penuh kabut, kali ini tak ada yang special
ketika adzan mas Arga berkumandang. Yahh.. takdir Allah. Biarlah, tak kusesali
rasa iu pernah ada untuk mas Arga. Terima kasih.
Ku bungkus dua sajadah merah, untuk kado. Ku selipkan doa
untuk keduanya. Ya Allah, tapi sayang
sekali aku tak bisa hadir. Hari walimahannya bertepatan dengan hari
kepulanganku. Kutitipkan kadoku pada yangti, kutitipkan salam dan kata maaf
karna tak bisa hadir.
Didalam kereta, ku pandangi lagi pemandangan hijau
hamparan sawah.
“ya Allah, sediakan untukku seseorang seperti mas Arga.
Bukan hanya suaranya saja yang bisa aku nikmati, tapi juga kasih sayangnya.
Berikan aku satu muadzin, yang sekaligus akan jadi imamku.” Gumamku dalam hati.
Lama lama, Tanpa sadar aku terlelap.
“Hapuslah air mata dipipi dan hilangkan lara dihati. Terimalah,
semuanya adalah bagian dari hidup ini. Dengan kebesaran hati dan jiwa dirimu
akan menemukan apa rahasia dibalik kehidupan yang telah dijalani.
Kelak akan kau rasakan tiada lagi riak kegelisahan dan
keresahan saat sendiri.”
0 komentar:
Posting Komentar