Jumat, 15 Agustus 2014

My Lovely Neighbor


“Kalau orang kaya gitu mah, tinggal nunggu dosanya menumpuk terus lihat saja besok apa yang akan terjadi. Paling juga bakal masuk Rumah Sakit lagi. Bisanya saja menginjak – injak harga diri orang.”

“Iya, semua itu kan bakal ada balasannya. Tunggu saja waktunya. Orang kaya sih orang kaya, tapi kalau kelakuannya seperti itu apakah pantas. Mentang – mentang orang berada. Kita sebagai orang kecil ya terima sajalah, paling juga bakal kena batunya. Itu pasti.”

Mendengar pembicaraan  ibu – ibu itu saya langsung berpamitan meninggalkan warung.

“Eh, mau kemana Dek? Kok buru – buru banget.”

“Iya ini Bude, saya sudah selesai belanjanya. Duluan ya..”

Saya takut terseret dalam pembicaraan yang mulai menjalar ke masalah seperti itu. Penyakit semacam ini memang susah dihilangkan, dari pada tertular mending saya langsung menghindar. Saya tahu siapa yang mereka bicarakan dan apa permasalahannya, tapi saya tidak mau ikut campur. Takut saya juga kena dampaknya.

Tak akan ada asap kalau tidak ada api. Tidak ada akibat kalau tidak ada sebab. Sakit hati lah yang memicu pembicaraan Bude Yati dan Bude Tini. Bude Yati adalah korbannya. Bude Yati pernah curhat dengan saya, beliau percaya saya akan menjaga permasalahan ini dan tidak ember. Beliau bercerita tentang sakit hatinya kepada Pak Yahya yang suka menyindir keluarga beliau, halus, tapi sadis. Beliau bercerita dengan raut wajah yang memelas seakan ribuan jarum menusuk hatinya. Kalau saya yang berada diposisi Bude Yati, mungkin hal yang saya rasakan sama.

“Pak Yahya itu, gila hormat banget Dek. Waktu aku sedang diluar sama anakku yang paling kecil, dia lewat, jelas kan dek, aku langsung menyapanya. Sekali dua kali dia lewat didepan rumahku dan aku masih menyapanya. Tiga kali empat kali dia lewat, aku diam dan sibuk dengan anakku. Tahu ga Dek,  dia itu lewat dan nyeletuk, ‘kalau jadi orang itu yang sopan, andhap asor, murah senyum, ga Cuma ditekuk saja mukanya, banyak pikiran sih banyak pikiran, tapi ya lihat lihat situasi.’ Dia berkata seperti itu sambil lewat didepanku. Bayangkan Dek, masa iya aku harus selalu menyapanya tiap dia lewat, kurang kerjaaan banget kan? Mending  kalau jangka waktu dia lewat itu agak lama, lha kalau sliwar sliwer kaya gitu apa iya aku harus selalu menyapanya. Sekali dua kali kan cukup kan Dek. Aneh.” Bu Yati menghela napas.

“Ya Allah Dek, salahku itu apa, aku juga tidak pernah meminta kekayaannya. Aku juga tidak pernah mengusik kehidupannya, tapi dia itu seakan pengen membuat keluargaku itu rendah. Memang, aku keluarga yang biasa saja, tapi apakah pantas dia menginjak – injak harga diri keluargaku. Jadi orang kaya kok sombong. Bisanya hanya bikin orang sakit hati. Aku memang orang miskin dek, tapi kalau aku punya uang pasti akan aku bayar hutang, tapi sabar. Wong aku yang punya hutang kok dia yang ribet. Sering dia  mengungkit ungkit masalah keluarga ku kalau sedang ada acara arisan keluarga atau perkumpulan lain lain. Padahal kita itu masih ada hubungan darah lho dek, masih satu trah. Ya beginilah dek kalau posisi lagi terhimpit, adanya cuma dijadikan mainan orang orang punya. Aku bisanya ya cuma sabar kan dek, wong sabar bakalan menang kan dek.”

Saya tersenyum melihat ketegaran Bude Yati. Tapi yang jadi masalahnya adalah cara beliau mengungkapkan kekesalannya. Beliau malah bercerita dengan Bude Bude yang lain, jadilah mereka menjadikan hal itu sebagai ajang bergosip. Dan kalau sudah kesal, akhirnya  doa doa tidak baik yang terlontar. Astagfirullah.

Kesenjangan sosial memang menjadi masalah yang kompleks di dalam bermasyarakat. Sebenarnya kalau antara dua posisi tersebut ada suatu komunikasi yang baik, hubungan antara mereka juga baik. Memang kekayaan sering membuat orang tinggi hati dan suka memandang sebelah mata orang yang biasa saja. Tapi tidak semua seperti itu, walaupun hanya segelintir saja. Kesadaran akan saling bersosialisasi, toleransi, tenggang rasa, dan saling menjaga perasaan mulai menipis sehingga hal – hal seperti itu mulai menjadi jamur dimana – mana.

Saat saya sedang santai dengan suami saya, anak – anak sudah tidur, saya buka obrolan dengan bertanya apa pendapat Mas tentang masalah Bude Yati.
“Sebenarnya itu sudah jadi Icon nya orang kaya kan dek, menginjak yang kecil. Tapi tidak semua seperti itu. Yang jelas, pasti ada sebab intern dari Pak Yahya, mungkin juga tidak cuma itu yang jadi masalah Pak Yahya. Wong semua orang juga tahu kan dek, Pak Yahya itu seperti apa. Sebagai yang muda, yang lebih paham ya mencoba memaklumi saja, kalau kita menentang justru kita jadi sasaran berikutnya. “

“Iya juga ya Mas.” Aku coba menelaah kata – kata Mas dan menyambungkan dengan masalah Bude Yati.

“Tetanggga itu kan saudara kita yang paling deket kan dek, kalau ada apa – apa pasti larinya juga ke tetangga. Kita belajar dari pengalaman Pakde Sugi saja, ketika istrinya jatuh kemarin, tidak ada yang langsung menolong. Soalnya dia angkuh sama tetangga, sulit tegur sapa, tidak berusaha menjalin hubungan baik dengan yang lain. Di perkumpulan bapak – bapak itu saja dia tidak pernah berangkat. Ga atau alasan yang jelas itu apa. Jadi ya begitu, tak banyak orang yang simpati sama dia. Kalau saja dia tidak datang ke rumah pak RW untuk minta tolong, mungkin dia bakal jadi duda. Kasihan kan?” Mas menataku dengan raut penuh tanya dan menanti jawaban. Aku mengangguk.

“Kalau saja setiap orang menanamkan rasa saling menghormati, tenggang rasa, toleransi, saling menghargai, saling menjaga perasaan, mempunyai rasa persaudaraan yang erat, Mas yakin kasus seperti Pak Yahya, Bude Yati dan Pakde Sugi tidak akan terjadi. Tapi setiap orang berbeda – beda, ada yang sadar dan tidak. Juga satu yang paling penting, keimanan. Orang seperti apapun kalau sudah punya iman yang kuat pasti semua akan rukun. Mungkin yang jadi faktor selanjutnya masalah kerohanian. Masyarakat kita kan paling terbelakang kan dek dibanding masyarakat desa lain. Tidak ada kegiatan keagamaan di desa kita, kalaupun ada itu jarang sekali, bahkan mungkin setahun sekali, pas bulan Ramadhan saja. Yang terpenting adalah kita tanamkan rasa itu pada diri sendiri, kita mulai dari keluarga sendiri setelah itu kita tularkan ke yang lain.” Mas lalu menyeruput teh buatanku dan pamit ke kamar mandi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].


Beribadahlah kepada Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri. [an-Nisâ`/4:36]. 

0 komentar: