My Lovely Neighbor
“Kalau orang kaya gitu mah, tinggal nunggu dosanya
menumpuk terus lihat saja besok apa yang akan terjadi. Paling juga bakal masuk
Rumah Sakit lagi. Bisanya saja menginjak – injak harga diri orang.”
“Iya, semua itu kan bakal ada balasannya. Tunggu saja
waktunya. Orang kaya sih orang kaya, tapi kalau kelakuannya seperti itu apakah
pantas. Mentang – mentang orang berada. Kita sebagai orang kecil ya terima
sajalah, paling juga bakal kena batunya. Itu pasti.”
Mendengar pembicaraan
ibu – ibu itu saya langsung berpamitan meninggalkan warung.
“Eh, mau kemana Dek? Kok buru – buru banget.”
“Iya ini Bude, saya sudah selesai belanjanya. Duluan
ya..”
Saya takut terseret dalam pembicaraan yang mulai menjalar
ke masalah seperti itu. Penyakit semacam ini memang susah dihilangkan, dari
pada tertular mending saya langsung menghindar. Saya tahu siapa yang mereka
bicarakan dan apa permasalahannya, tapi saya tidak mau ikut campur. Takut saya
juga kena dampaknya.
Tak akan ada asap kalau tidak ada api. Tidak ada akibat
kalau tidak ada sebab. Sakit hati lah yang memicu pembicaraan Bude Yati dan
Bude Tini. Bude Yati adalah korbannya. Bude Yati pernah curhat dengan saya,
beliau percaya saya akan menjaga permasalahan ini dan tidak ember. Beliau
bercerita tentang sakit hatinya kepada Pak Yahya yang suka menyindir keluarga
beliau, halus, tapi sadis. Beliau bercerita dengan raut wajah yang memelas
seakan ribuan jarum menusuk hatinya. Kalau saya yang berada diposisi Bude Yati,
mungkin hal yang saya rasakan sama.
“Pak Yahya itu, gila hormat banget Dek. Waktu aku sedang
diluar sama anakku yang paling kecil, dia lewat, jelas kan dek, aku langsung
menyapanya. Sekali dua kali dia lewat didepan rumahku dan aku masih menyapanya.
Tiga kali empat kali dia lewat, aku diam dan sibuk dengan anakku. Tahu ga
Dek, dia itu lewat dan nyeletuk, ‘kalau
jadi orang itu yang sopan, andhap asor, murah senyum, ga Cuma ditekuk saja
mukanya, banyak pikiran sih banyak pikiran, tapi ya lihat lihat situasi.’ Dia
berkata seperti itu sambil lewat didepanku. Bayangkan Dek, masa iya aku harus
selalu menyapanya tiap dia lewat, kurang kerjaaan banget kan? Mending kalau jangka waktu dia lewat itu agak lama,
lha kalau sliwar sliwer kaya gitu apa iya aku harus selalu menyapanya. Sekali
dua kali kan cukup kan Dek. Aneh.” Bu Yati menghela napas.
“Ya Allah Dek, salahku itu apa, aku juga tidak pernah
meminta kekayaannya. Aku juga tidak pernah mengusik kehidupannya, tapi dia itu
seakan pengen membuat keluargaku itu rendah. Memang, aku keluarga yang biasa
saja, tapi apakah pantas dia menginjak – injak harga diri keluargaku. Jadi
orang kaya kok sombong. Bisanya hanya bikin orang sakit hati. Aku memang orang
miskin dek, tapi kalau aku punya uang pasti akan aku bayar hutang, tapi sabar. Wong
aku yang punya hutang kok dia yang ribet. Sering dia mengungkit ungkit masalah keluarga ku kalau
sedang ada acara arisan keluarga atau perkumpulan lain lain. Padahal kita itu
masih ada hubungan darah lho dek, masih satu trah. Ya beginilah dek kalau
posisi lagi terhimpit, adanya cuma dijadikan mainan orang orang punya. Aku
bisanya ya cuma sabar kan dek, wong sabar bakalan menang kan dek.”
Saya tersenyum melihat ketegaran Bude Yati. Tapi yang
jadi masalahnya adalah cara beliau mengungkapkan kekesalannya. Beliau malah bercerita
dengan Bude Bude yang lain, jadilah mereka menjadikan hal itu sebagai ajang
bergosip. Dan kalau sudah kesal, akhirnya doa doa tidak baik yang terlontar.
Astagfirullah.
Kesenjangan sosial memang menjadi masalah yang kompleks
di dalam bermasyarakat. Sebenarnya kalau antara dua posisi tersebut ada suatu
komunikasi yang baik, hubungan antara mereka juga baik. Memang kekayaan sering
membuat orang tinggi hati dan suka memandang sebelah mata orang yang biasa
saja. Tapi tidak semua seperti itu, walaupun hanya segelintir saja. Kesadaran
akan saling bersosialisasi, toleransi, tenggang rasa, dan saling menjaga
perasaan mulai menipis sehingga hal – hal seperti itu mulai menjadi jamur
dimana – mana.
Saat saya sedang santai dengan suami saya, anak – anak
sudah tidur, saya buka obrolan dengan bertanya apa pendapat Mas tentang masalah
Bude Yati.
“Sebenarnya itu sudah jadi Icon nya orang kaya kan dek,
menginjak yang kecil. Tapi tidak semua seperti itu. Yang jelas, pasti ada sebab
intern dari Pak Yahya, mungkin juga tidak cuma itu yang jadi masalah Pak Yahya.
Wong semua orang juga tahu kan dek, Pak Yahya itu seperti apa. Sebagai yang
muda, yang lebih paham ya mencoba memaklumi saja, kalau kita menentang justru
kita jadi sasaran berikutnya. “
“Iya juga ya Mas.” Aku coba menelaah kata – kata Mas dan
menyambungkan dengan masalah Bude Yati.
“Tetanggga itu kan saudara kita yang paling deket kan
dek, kalau ada apa – apa pasti larinya juga ke tetangga. Kita belajar dari
pengalaman Pakde Sugi saja, ketika istrinya jatuh kemarin, tidak ada yang
langsung menolong. Soalnya dia angkuh sama tetangga, sulit tegur sapa, tidak
berusaha menjalin hubungan baik dengan yang lain. Di perkumpulan bapak – bapak
itu saja dia tidak pernah berangkat. Ga atau alasan yang jelas itu apa. Jadi ya
begitu, tak banyak orang yang simpati sama dia. Kalau saja dia tidak datang ke
rumah pak RW untuk minta tolong, mungkin dia bakal jadi duda. Kasihan kan?” Mas
menataku dengan raut penuh tanya dan menanti jawaban. Aku mengangguk.
“Kalau saja setiap orang menanamkan rasa saling
menghormati, tenggang rasa, toleransi, saling menghargai, saling menjaga
perasaan, mempunyai rasa persaudaraan yang erat, Mas yakin kasus seperti Pak
Yahya, Bude Yati dan Pakde Sugi tidak akan terjadi. Tapi setiap orang berbeda –
beda, ada yang sadar dan tidak. Juga satu yang paling penting, keimanan. Orang
seperti apapun kalau sudah punya iman yang kuat pasti semua akan rukun. Mungkin
yang jadi faktor selanjutnya masalah kerohanian. Masyarakat kita kan paling
terbelakang kan dek dibanding masyarakat desa lain. Tidak ada kegiatan
keagamaan di desa kita, kalaupun ada itu jarang sekali, bahkan mungkin setahun
sekali, pas bulan Ramadhan saja. Yang terpenting adalah kita tanamkan rasa itu
pada diri sendiri, kita mulai dari keluarga sendiri setelah itu kita tularkan
ke yang lain.” Mas lalu menyeruput teh buatanku dan pamit ke kamar mandi.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Barang siapa
beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menghormati
tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia
memuliakan tamunya”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].
Beribadahlah kepada Allah dan janganlah
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang
tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan
tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki.
Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.
[an-Nisâ`/4:36].
0 komentar:
Posting Komentar