Jumat, 15 Agustus 2014

Awalnya sih becanda, tapi….


“Ibu, kok nampak kebingungan? Ada yang bisa saya bantu Bu?” tanyaku pada seorang ibu berkerudung merah marun, badan beliau agak kecil dengan wajah yang manis dihiasi tahi lalat di bawah mata,  membawa satu tas besar dan satu kardus. Mungkin Ibu ini berasal dari jauh.

“Oo, iya, Dik.  Saya mau cari rumah anak saya, ini alamatnya.” Sambil beliau menunjukkan kertas.

“Oo, ini alamat rumah Mas Fakhri. Saya tahu rumahnya Bu, mari saya antar. Nama saya Nila, Bu, maaf kalau boleh tahu nama Ibu siapa?”

“Saya Ibu Marni, Dik. Terima kasih ya.” Ibu itu menerima tawaran ku dengan senang hati.

“Tapi saya harus ke kost dulu Bu, ada perlu sebentar. Ibu tidak keberatan kan,  sambil Ibu istirahat di kost saya. Saya  bawakan tasnya ya Bu.”

“Terima kasih ya , Dik. Maaf merepotkan.”

“Tidak merepotkan kok, Bu. Justru saya senang bisa membantu Ibu.”

“Oo, begitu ya, Dik, syukurlah.”

Di perjalanan Ibu Marni menanyakan tentang kegiatan Mas Fakhri disini, aku tahu jelas, dia  teman satu organisasi di kampus.

Dari kejauhan sudah terlihat beberapa pasang mata memandang ke arah kami dengan penuh tanya. Mereka adalah teman – teman kost ku. Lalu senyum mereka merekah menyambut kedatangan kami. Lika memberi kode padaku, sambil mulutnya komat kamit menanyakan siapa Ibu yang bersamaku. Ku balas kodenya dengan menjawab lirih, “nanti aku sms.”
Ku persilakan Ibu Marni masuk lalu ku ambilkan air minum untuk membasahi tenggorokannya.

***
Mentari lelah ketika harus menerangi siang ini dengan pancaran sinarnya yang mampu mengeringkan suasana, kali ini langit redup, matahari menyembunyikan diri di balik awan. Tapi semangat kami tak layaknya mentari di siang itu, tampak anggota rapat kali ini tengah bersiap – siap melaksanakan agenda yang sudah dijadwalkan. Kami tergabung dalam Forum Remaja Masjid di kampus, dan rapat kali ini akan membahas tentang acara yang akan di adakan menjelang bulan Ramadhan tahun ini.

“Bagaimana pendapat teman – teman semua, silakan usulkan siapa yang akan menjadi ketua panitia.” Suara serak Mas Ilham, ketua Forum.

Masing – masing anggota rapat menyerukan pilihan mereka, siapa yang mereka anggap pantas menjadi kepala kegiatan yang mampu mengerahkan anak buah dengan baik dan teratur. Sampai akhirnya Lika buka suara.

“Mas Ilham, bagaimana kalau Mas Fakhri saja yang menjadi ketuanya, saya rasa Mas Fakhri mampu mengarahkan teman – teman. Pengalamannya sebagai ketua juga sudah banyak, semua kegiatan kita yang di ketuai Mas Fakhri semua berjalan dengan sukses. Event kita kali ini kan lumayan besar, jadi kenapa kita harus bingung memilih?”

Semua kepala manggut – manggut, tanda setuju. Aku juga.

“Sekalian pilih wakilnya saja.” Sambung Lika. “sepertinya Nila cocok. Seperti yang kita lihat, mereka sangat solid, akrab dan apapun gagasan yang mereka diskusikan hasilnya selalu waw. Pemikiran mereka juga selalu sejalan, dan saya yakin mereka akan bisa mengatur kegiatan ini dengan baik. Tentu saja dengan bantuan pengurus lainnya.”

Aku terkejut. Memang, kami akrab, tapi tak sedekat itu. Lika terlalu berlebihan menggambarkan keadaan.

“Baiklah, tidak ada yang ditanyakan? Jadi, ketua acara menyambut bulan Ramadhan ini di ketuai oleh Fakhri dan wakilnya, Nila.” Jelas Mas Ilham. “Semua pengurus sudah ditentukan, silakan bergabung dengan jabatan masing – masing untuk mendiskusikan apa saja yang harus dipersiapkan.”

Aku tak mampu menolak, semua sudah mempercayakan pada kami. Apa boleh buat. Kami lalu bergabung, membicarakan rencana kegiatan besok.

“Terima kasih ya, La, Kemarin sudah mengantar Ibuku, aku kemarin tidak dirumah, jadi tidak tahu kalau kamu yang mengantar.” Pernyataan Mas Fakhri membuka pembicaraan.

“O.. iya Mas, sama – sama.”

Hanya itu, tidak aku tambahi apapun. Takut nanti urusannya jadi panjang. Kami hanya fokus pada pembicaraan tentang event yang akan datang. Semua yang ada disitu ternyata secara sembunyi -  sembunyi memandangi kami sedari tadi, memperhatikan gerak gerik kami. Aduh! Perasaanku tidak enak.

“ oke semuanya, mari berkumpul, yang jauh mendekat, yang dekat merapat.” Mas Ilham mengomando teman – teman disambut dengan senyum mengembang. “Semuanya sudah selesai?.” lanjutnya. “baiklah, sekarang silakan saudara Fakhri mengambil perannya sebagai ketua untuk memimpin.”

Suasana sejenak hening ketika Mas Fakhri mulai memimpin rapat. Ditanyainya satu persatu koordinator masing – masing pengurus. Mereka mulai mengusulkan dan menelurkan ide – ide mereka, semuanya mereka ungkapkan dan didiskusikan bersama. Termasuk aku, aku ikut memberikan gagasan. Dan lagi, banyak yang memperhatikan aku ketika aku berdiskusi dengan Mas Fakhri.

Akhirnya rapat selesai, acara terakhir acara lain – lain, atau ngobrol – ngobrol.

“ecieh.. makin solid aja nih anak berdua, cocok dah..” celoteh Lika.

“siapa yang kamu maksud?” tanya Wulan.

“Idih, siapa lagi coba kalau bukan Mas Ketua dan wakilnya. Sepertinya bakal ada kelanjutannya nih.”

“Maksudnya apa Lik?” tanya Disti.
“Kemarin itu, Ibunya Mas Fakhri tuh datang ke kostnya Nila,mungkin mau menanyai Nila mau atau tidak dengan Mas Fakhri. Hahaha..”

“Likaa!!!” suaraku, lirih dan tatapan tajam.

“kenapa Nila? Betul kan? Hehehehe..”

“Awas kamu yaa…”
Aku segera bergegas, takut nanti Lika semakin ngawur bicaranya. Ku dengar teman – teman bertanya pada Lika benarkah Ibu Mas Fakhri datang kekostku dan lain – lain. Ahh, awas saja Lika, kamu yang harus bertanggung jawab jika nanti terjadi sesuatu.

Dan, benar saja, di rapat berikutnya semua orang didalam forum itu terpengaruh dengan gosip Lika.

“cie..cie,, Nila, kapan undangannya datang?” ucap Kiki. Belum sempat aku mengelak sudah disusul Dewi,
“wah Nila, ternyata pendekatannya sudah lama ya? Kalian cocok kok..”

Aaaaarrgghhhh!!! Kalian semua salah paham.

“teman – teman semua, tidak ada hubungan apa –apa antara aku dan Mas Fakhri, dan untuk masalah kenapa Ibunya Mas Fakhri ke kost ku, kebetulan aku ketemu dijalan, aku lihat Ibu itu kebingungan, ternyata beliau mencari rumah Mas Fakhri, nah karena ada keperluan di kost, aku mengajak beliau dulu mampir ke kost sekalian istirahat. Setelah itu baru aku antar beliau. Jangan salah paham dulu..”

“Ciee… masakk siiihhhh..”

Ku hela nafas, terserahlah. Yang penting kenyataanya seperti itu. Ternyata tak sampai disitu. Di setiap akhir rapat, atau ketika aku sedang diskusi dengan Mas Fakhri, pokoknya kalau ada yang memergoki aku sedang ngobrol dengan Mas Fakhri penyakit mereka kumat. Tak sadar kah kalian, itu bisa jadi fitnah. Astagfirullah.

“Lik, lihat perbuatanmu. Semua orang membicarakanku dengan Mas Fakhri. Sudah puas?”

“huadu, kok gitu sih La. Kan Cuma becanda doang, hitung – hitung buat hiburan.”

“hiburan? Maksud kamu apa?”

“kok kamu serius banget sih, La. Lagian kalau kamu tidak ada apa – apa sama Mas Fakhri, ya udah dong biasa aja. Gitu aja repot amat sih”

“kok kamu yang sewot sih jadinya? Gara – gara berita itu, banyak yang membicarakanku. Kamu tahu Wulan, dia sekarang menjauhiku, sekarang dia ketus kalau aku ajak bicara, kamu tahu kan dia naksir Mas Fakhri uda lama. Lalu, Mas Fakhri jadi sering sms, yang biasanya Cuma membicarakan soal kegiatan, kini sudah merembet kemana- mana, aku risi. Teman – teman mengira aku menggunakan kesempatan ini untuk berdekatan dengan Mas Fakhri. Dan mulai saat itu pula, ketika aku berdiskusi dengan Mas fakhri rasanya canggung banget, ga seperti biasanya, suasana jadi kaku. Ketika habis rapat pun akhirnya aku dan Mas Fakhri yang bahan pembicaraan. Lika..Lika, suasana jadi tidak sehat.”

“Maaf ya, Nila, aku menyesal.”

“aku hanya takut orang berpikir yang tidak – tidak, kasihan kan mereka pada su’udzon.”

“Iya juga ya.. ahh, kenapa aku tidak berpikir sampai situ.”


“Makanya, kalau tidak tahu informasi sebenarnya dan utuh menyeluruh, jangan berani menyampaikan!”

0 komentar: