Awalnya sih becanda, tapi….
“Ibu, kok nampak kebingungan? Ada yang bisa saya bantu
Bu?” tanyaku pada seorang ibu berkerudung merah marun, badan beliau agak kecil
dengan wajah yang manis dihiasi tahi lalat di bawah mata, membawa satu tas besar dan satu kardus.
Mungkin Ibu ini berasal dari jauh.
“Oo, iya, Dik. Saya mau cari rumah anak saya, ini alamatnya.”
Sambil beliau menunjukkan kertas.
“Oo, ini alamat rumah Mas Fakhri. Saya tahu rumahnya Bu,
mari saya antar. Nama saya Nila, Bu, maaf kalau boleh tahu nama Ibu siapa?”
“Saya Ibu Marni, Dik. Terima kasih ya.” Ibu itu menerima
tawaran ku dengan senang hati.
“Tapi saya harus ke kost dulu Bu, ada perlu sebentar. Ibu
tidak keberatan kan, sambil Ibu
istirahat di kost saya. Saya bawakan
tasnya ya Bu.”
“Terima kasih ya , Dik. Maaf merepotkan.”
“Tidak merepotkan kok, Bu. Justru saya senang bisa
membantu Ibu.”
“Oo, begitu ya, Dik, syukurlah.”
Di perjalanan Ibu Marni menanyakan tentang kegiatan Mas
Fakhri disini, aku tahu jelas, dia teman
satu organisasi di kampus.
Dari kejauhan sudah terlihat beberapa pasang mata
memandang ke arah kami dengan penuh tanya. Mereka adalah teman – teman kost ku.
Lalu senyum mereka merekah menyambut kedatangan kami. Lika memberi kode padaku,
sambil mulutnya komat kamit menanyakan siapa Ibu yang bersamaku. Ku balas
kodenya dengan menjawab lirih, “nanti aku sms.”
Ku persilakan Ibu Marni masuk lalu ku ambilkan air minum
untuk membasahi tenggorokannya.
***
Mentari lelah ketika harus menerangi siang ini dengan
pancaran sinarnya yang mampu mengeringkan suasana, kali ini langit redup,
matahari menyembunyikan diri di balik awan. Tapi semangat kami tak layaknya
mentari di siang itu, tampak anggota rapat kali ini tengah bersiap – siap
melaksanakan agenda yang sudah dijadwalkan. Kami tergabung dalam Forum Remaja
Masjid di kampus, dan rapat kali ini akan membahas tentang acara yang akan di
adakan menjelang bulan Ramadhan tahun ini.
“Bagaimana pendapat teman – teman semua, silakan usulkan
siapa yang akan menjadi ketua panitia.” Suara serak Mas Ilham, ketua Forum.
Masing – masing anggota rapat menyerukan pilihan mereka,
siapa yang mereka anggap pantas menjadi kepala kegiatan yang mampu mengerahkan
anak buah dengan baik dan teratur. Sampai akhirnya Lika buka suara.
“Mas Ilham, bagaimana kalau Mas Fakhri saja yang menjadi
ketuanya, saya rasa Mas Fakhri mampu mengarahkan teman – teman. Pengalamannya
sebagai ketua juga sudah banyak, semua kegiatan kita yang di ketuai Mas Fakhri
semua berjalan dengan sukses. Event kita kali ini kan lumayan besar, jadi
kenapa kita harus bingung memilih?”
Semua kepala manggut – manggut, tanda setuju. Aku juga.
“Sekalian pilih wakilnya saja.” Sambung Lika. “sepertinya
Nila cocok. Seperti yang kita lihat, mereka sangat solid, akrab dan apapun
gagasan yang mereka diskusikan hasilnya selalu waw. Pemikiran mereka juga
selalu sejalan, dan saya yakin mereka akan bisa mengatur kegiatan ini dengan
baik. Tentu saja dengan bantuan pengurus lainnya.”
Aku terkejut. Memang, kami akrab, tapi tak sedekat itu.
Lika terlalu berlebihan menggambarkan keadaan.
“Baiklah, tidak ada yang ditanyakan? Jadi, ketua acara
menyambut bulan Ramadhan ini di ketuai oleh Fakhri dan wakilnya, Nila.” Jelas
Mas Ilham. “Semua pengurus sudah ditentukan, silakan bergabung dengan jabatan
masing – masing untuk mendiskusikan apa saja yang harus dipersiapkan.”
Aku tak mampu menolak, semua sudah mempercayakan pada
kami. Apa boleh buat. Kami lalu bergabung, membicarakan rencana kegiatan besok.
“Terima kasih ya, La, Kemarin sudah mengantar Ibuku, aku
kemarin tidak dirumah, jadi tidak tahu kalau kamu yang mengantar.” Pernyataan
Mas Fakhri membuka pembicaraan.
“O.. iya Mas, sama – sama.”
Hanya itu, tidak aku tambahi apapun. Takut nanti
urusannya jadi panjang. Kami hanya fokus pada pembicaraan tentang event yang
akan datang. Semua yang ada disitu ternyata secara sembunyi - sembunyi memandangi kami sedari tadi,
memperhatikan gerak gerik kami. Aduh! Perasaanku tidak enak.
“ oke semuanya, mari berkumpul, yang jauh mendekat, yang
dekat merapat.” Mas Ilham mengomando teman – teman disambut dengan senyum
mengembang. “Semuanya sudah selesai?.” lanjutnya. “baiklah, sekarang silakan
saudara Fakhri mengambil perannya sebagai ketua untuk memimpin.”
Suasana sejenak hening ketika Mas Fakhri mulai memimpin
rapat. Ditanyainya satu persatu koordinator masing – masing pengurus. Mereka
mulai mengusulkan dan menelurkan ide – ide mereka, semuanya mereka ungkapkan
dan didiskusikan bersama. Termasuk aku, aku ikut memberikan gagasan. Dan lagi,
banyak yang memperhatikan aku ketika aku berdiskusi dengan Mas Fakhri.
Akhirnya rapat selesai, acara terakhir acara lain – lain,
atau ngobrol – ngobrol.
“ecieh.. makin solid aja nih anak berdua, cocok dah..”
celoteh Lika.
“siapa yang kamu maksud?” tanya Wulan.
“Idih, siapa lagi coba kalau bukan Mas Ketua dan
wakilnya. Sepertinya bakal ada kelanjutannya nih.”
“Maksudnya apa Lik?” tanya Disti.
“Kemarin itu, Ibunya Mas Fakhri tuh datang ke kostnya
Nila,mungkin mau menanyai Nila mau atau tidak dengan Mas Fakhri. Hahaha..”
“Likaa!!!” suaraku, lirih dan tatapan tajam.
“kenapa Nila? Betul kan? Hehehehe..”
“Awas kamu yaa…”
Aku segera bergegas, takut nanti Lika semakin ngawur
bicaranya. Ku dengar teman – teman bertanya pada Lika benarkah Ibu Mas Fakhri
datang kekostku dan lain – lain. Ahh, awas saja Lika, kamu yang harus
bertanggung jawab jika nanti terjadi sesuatu.
Dan, benar saja, di rapat berikutnya semua orang didalam
forum itu terpengaruh dengan gosip Lika.
“cie..cie,, Nila, kapan undangannya datang?” ucap Kiki.
Belum sempat aku mengelak sudah disusul Dewi,
“wah Nila, ternyata pendekatannya sudah lama ya? Kalian
cocok kok..”
Aaaaarrgghhhh!!! Kalian semua salah paham.
“teman – teman semua, tidak ada hubungan apa –apa antara
aku dan Mas Fakhri, dan untuk masalah kenapa Ibunya Mas Fakhri ke kost ku, kebetulan
aku ketemu dijalan, aku lihat Ibu itu kebingungan, ternyata beliau mencari
rumah Mas Fakhri, nah karena ada keperluan di kost, aku mengajak beliau dulu
mampir ke kost sekalian istirahat. Setelah itu baru aku antar beliau. Jangan
salah paham dulu..”
“Ciee… masakk siiihhhh..”
Ku hela nafas, terserahlah. Yang penting kenyataanya
seperti itu. Ternyata tak sampai disitu. Di setiap akhir rapat, atau ketika aku
sedang diskusi dengan Mas Fakhri, pokoknya kalau ada yang memergoki aku sedang
ngobrol dengan Mas Fakhri penyakit mereka kumat. Tak sadar kah kalian, itu bisa
jadi fitnah. Astagfirullah.
“Lik, lihat perbuatanmu. Semua orang membicarakanku
dengan Mas Fakhri. Sudah puas?”
“huadu, kok gitu sih La. Kan Cuma becanda doang, hitung –
hitung buat hiburan.”
“hiburan? Maksud kamu apa?”
“kok kamu serius banget sih, La. Lagian kalau kamu tidak
ada apa – apa sama Mas Fakhri, ya udah dong biasa aja. Gitu aja repot amat sih”
“kok kamu yang sewot sih jadinya? Gara – gara berita itu,
banyak yang membicarakanku. Kamu tahu Wulan, dia sekarang menjauhiku, sekarang
dia ketus kalau aku ajak bicara, kamu tahu kan dia naksir Mas Fakhri uda lama. Lalu,
Mas Fakhri jadi sering sms, yang biasanya Cuma membicarakan soal kegiatan, kini
sudah merembet kemana- mana, aku risi. Teman – teman mengira aku menggunakan
kesempatan ini untuk berdekatan dengan Mas Fakhri. Dan mulai saat itu pula,
ketika aku berdiskusi dengan Mas fakhri rasanya canggung banget, ga seperti
biasanya, suasana jadi kaku. Ketika habis rapat pun akhirnya aku dan Mas Fakhri
yang bahan pembicaraan. Lika..Lika, suasana jadi tidak sehat.”
“Maaf ya, Nila, aku menyesal.”
“aku hanya takut orang berpikir yang tidak – tidak,
kasihan kan mereka pada su’udzon.”
“Iya juga ya.. ahh, kenapa aku tidak berpikir sampai
situ.”
“Makanya, kalau tidak tahu informasi sebenarnya dan utuh
menyeluruh, jangan berani menyampaikan!”
0 komentar:
Posting Komentar