Bagaikan Pinang Dibelah Kapak
Meski gerimis kami tetap melanjutkan perjalanan menuju
tempat incaran kami. Setelah perut kenyang dengan bakso hasil icip – icip di
tempat yang sudah kami rencanakan sebulan yang lalu, kami pergi ke swalayan
yang tak jauh dari tempat makan kami tadi. Oh iya, perkenalkan, nama ku Aliya.
Aku pergi bersama Isna. Kami satu kantor di salah satu perusahaan di Surabaya.
Mumpung hari ini hari Sabtu dan jam ngantor juga hanya setengah hari aku dan
Isna jalan – jalan. Aku mengantar dia beli ikat pinggang incarannya.
“Ga ada nih Ya, cari ke tempat lain yuk?”
“Yakin ga ada? Tangan hampa dong. Sini deh liat barang – barang yang lain dulu.” Ku layangkan pandanganku di deretan baju – baju. Aku ambil satu, dan cocok. Bungkus!
“Yakin ga ada? Tangan hampa dong. Sini deh liat barang – barang yang lain dulu.” Ku layangkan pandanganku di deretan baju – baju. Aku ambil satu, dan cocok. Bungkus!
“Kok malah jadi aku yang belanja sih?”
“haha, yuk cari tempat lain. Kita ke Mall aja, sambil jalan – jalan. Yuk, cuss!”
“haha, yuk cari tempat lain. Kita ke Mall aja, sambil jalan – jalan. Yuk, cuss!”
Kami memang suka jalan – jalan berdua tiap akhir bulan.
Tau kan maksudnya? Entah pergi ke pasar tradisional untuk cari makanan enak
atau pergi ke mall dan berjalan – jalan hanya sekadar melihat – lihat. Tapi ada
satu yang jadi makanan wajib kami, “Es Krim”. Yes, ice cream. Makanan satu ini
emang tak ada matinya, semua umur gemar memakannya, kecuali yang ga gemar. Hoho
Setelah muter – muter, bolak – balik, naik turun mall,
akhirnya ketemu barang incaran Isna. Dan acara selanjutnya adalah hunting es
krim. Yummy! Es krim Mc Donald choco top, es krim vanilla dicelup ke coklat
hangat trus nanti coklatnya beku karena kena es krim, ulala.!. Kami cari tempat
ternyaman untuk menikmatinya. Mulai deh, kalau cewek ngumpul, apa sih yang
dibicarakan. Sudah bisa ditebak kan?
“eh Ya, aku galau nih, gimana dong. Aku takut terlalu
berharap sama Mas Agung. Dia tuh ga jelas maunya apa, ga enak tau digantungin.
Aku butuh kepastiaaaaan..” dia lampiaskan kekesalannya dengan melahap eskrimnya
hingga belepotan.
“haha, dasar ababil. Kalau ga jelas ya udah diemin aja.
Ga tegas banget sih tuh cowok. Mumpung
belum terlanjur jauh.”
“iya juga sih. Tapi susah Ya, cowok kaya Mas Agung tuh ga banyak. Aku takut ga nemuin lagi.”
“iya juga sih. Tapi susah Ya, cowok kaya Mas Agung tuh ga banyak. Aku takut ga nemuin lagi.”
“xixxii, dasar cuplis. Jangan risau deh, jodoh kita itu
cerminan kita, jadi perbaiki diri terus, banyak doa, yakin deh, cowok seperti
apapun yang kita inginkan pasti kita dapat. Orang yang baik itu untuk yang baik,
begitu juga sebaliknya.”
“Nah loh, dakwah deh.”
“Isna sayang, itu penting dan harus di ingat. Daripada kita pusing mikirin cowok yang ga jelas pangkal ujungnya, mending kita fokus ke jalan hidup kita, memperbaiki diri.”
“Nah loh, dakwah deh.”
“Isna sayang, itu penting dan harus di ingat. Daripada kita pusing mikirin cowok yang ga jelas pangkal ujungnya, mending kita fokus ke jalan hidup kita, memperbaiki diri.”
“Iya – Iya. Injih. Eh, gimana Mas Ilyas?”
“Maksud loe? Please deh, jangan sebut dia. Dia memang idamanku, tapi aku juga tak tau apa yang dia rasakan padaku. Mending menerima apa adanya Mas Kiki, walaupun kadang ngeselin, tapi kita saling melengkapi. Coba kalau aku sama Mas Ilyas, aku bakal ketergantungan dan tidak mandiri. Intinya adalah, apa yang kita pikirkan baik untuk kita belum tentu baik untuk kita, dan begitu juga sebaliknya.”
“baiklah Nyai, paham. Pulang yuk. Tapi mampir sholat di kantor dulu ya.”
“Maksud loe? Please deh, jangan sebut dia. Dia memang idamanku, tapi aku juga tak tau apa yang dia rasakan padaku. Mending menerima apa adanya Mas Kiki, walaupun kadang ngeselin, tapi kita saling melengkapi. Coba kalau aku sama Mas Ilyas, aku bakal ketergantungan dan tidak mandiri. Intinya adalah, apa yang kita pikirkan baik untuk kita belum tentu baik untuk kita, dan begitu juga sebaliknya.”
“baiklah Nyai, paham. Pulang yuk. Tapi mampir sholat di kantor dulu ya.”
Jalanan padat merayap. Maklum weekend. Kami manfaatkan
saja waktu itu untuk berbincang – bincang.
“ga nyangka ya kita bisa bareng – bareng gini. Inget ga
waktu dulu kamu pertama kali masuk kerja, kita kan ga saling kenal, tapi Allah
mempertemukan kita. Ingat waktu dulu kita berkenalan, waktu tes kita saling
berpandangan, “aku ga bisa.” Aku waktu itu pesimis banget. Hanya ada 3
kemungkinan, aku dan kamu, kamu dan Tia atau Tia dan aku yang akan diterima.”
Oceh Isna.
“haha, iya tuh sama. Dulu aku tuh dah pasrah, plus angkat
tangan. Bayangakan saja, surat menyurat. Sama sekali bukan basicku. Aku bener
bener bersyukur banget, memang uda rejeki kita kali ya.” Jawabku menyetujui
kalimat Isna.
“Tepat sekali.”
Dan ternyata banyak sekali persamaan kami, mulai dari
ketakutan kami dulu dalam berpakaian, soalnya dulu kerja ga boleh pakai jeans,
padahal baju kerja kami ga punya, baru lulus sekolah soalnya. Lalu, soal
kegiatan kami waktu dulu, kami suka terlibat dalam organisasi sekolah, kesamaan
kami tentang masalah selera makanan, masalah keuangan, keadaan rumah. Dan lain
sebagainya. Saking konsentrasinya kami ngobrol, tak terasa sudah sampai kantor.
Kami masih melanjutkan pembicaraan kami.
“Eh, rencana kita batalin dulu yuk. Kalau mau pergi
liburan bareng keluarga kita tunggu sampai keajaiban bonus tiba saja. Kantong
kempis nih.” Kataku.
“Bener nih, budget jadi obrak abrik nih gara – gara beli
barang tak terduga. Emang uang mu buat apa kok uda sekarat?”
“Uda masuk pos masing – masing. Hehehe”
“Sama nih, uangku uda aku kasih ibu.”
“Eh, Is. Pernah ga kamu berangkat kerja ga bawa uang
sepeser pun? Saking keringnya kantong.”
“Iya tuh, pernah. Kalang kabut deh. Kadang aku juga bawa
uanng kantor sih, jadi aman kalau buat jaga – jaga.”
“Jiah, mending tuh. Aku tuh pernah dan hampir seperti itu
tiap akhir episode. Bayangkan saja. Tapi aku sih cuek saja. Yang penting bensin
full. Nanti kalau bensin abis, atau ban bocor, atau motor mogok tinggal datang
ke bengkel. Gampang kan?”
“Trus bayarnya?
“Tinggal bilang saja. ‘Pak atau Mas, ini saya tidak bawa uang sama sekali. hp saya saya tinggal saja ya, nanti saya ambil. Atau Mas mau KTP saya, No hp, atau alamat. Udah, gampangkan.”
“Tinggal bilang saja. ‘Pak atau Mas, ini saya tidak bawa uang sama sekali. hp saya saya tinggal saja ya, nanti saya ambil. Atau Mas mau KTP saya, No hp, atau alamat. Udah, gampangkan.”
“Hahaha, dasar. Ga gitu juga kali..” Isna tertawa dengan
nada girang.
“Loh, ya harus gitu dong. Tapi percaya atau tidak,
alhamdulillah wasyukurillah terima kasih ya Allah, sama sekali hal itu belum
terjadi. Apapun kalau niatnya ikhlas karna Allah, insyaAllah dijaga dan dijamin
keselamatannya. Aku kan niatnya Ikhlas mau kerja cari rejeki buat ibu bapak
adik kakek nenek, dan Allah membantuku. Hebat kan.”
“Bener sekali. Kuasa Allah memang nyata.”
“Semoga menambah kuat iman kita. Ketika harta kita tak
punya, jangan pernah risau dan takut. Dengan Allah cukup. Meski kantong bolong
kosong blong, yakin saja Allah tak pernah lengah penjagaanNya. Jika dari hati
niat tulus ikhlas karena Allah, pasti semua akan dimudahkan. Cukup Allah yang
ada dihati. Memang sih kedengarannya klise, tapi kalau sudah dibuktikan dan
sudah merasakan manisnya kasih Allah, yakin deh, semakin kita akan mendekat
dengan Allah. Bukankah hidup bersama Allah itu begitu indah? Jadi, kalau pas ga punya uang itu aku ga
pernah mengeluh, hanya aku adukan kepada Allah. Semoga Allah memberikan
kemudahan dan keselamatan tiap langkahku. Gitu aja. Trus, aku juga punya amalan
setiap berada diperjalanan. Dengan membaca Istigfar, sholawat, tasbih, tahmid,
takbir, tahlil. Nanti tau tau uda nyampe kantor. Sungguh, Maha Besar Allah.
Jadi merinding nih. Buruan sholat yuk, aku dah ditunggu ibu.”
“Siap bu Nyai. Heheh. Luar biasa.! HASBUNALLAHU WA NI'MAL WAKIL,
NI'MAL MAULA WA NI'MANNASHIR
NI'MAL MAULA WA NI'MANNASHIR
Cukuplah Allah menjadi Penolong
kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.
0 komentar:
Posting Komentar