Miss Late!
Nyanyian merdu ayam jantan menggema di sela – sela
sinaran mentari yang menghangatkan. Ku dengar Ayah mulai memanasi bebek
kesayangannya yang biasa beliau pakai ke kantor, Ibu bercengkrama dengan piring
piring kotor yang sesekali ku dengar suara air gemercik dari keran. Aku yang
masih di zona nyamanku sesekali menarik selimut dan masih ingin ku rajut mimpi,
ku lirik jam dinding Angry bird ditembok kamarku.
“Astagfirullah.. Ibu…….” aku loncat kemudian lari ke
kamar mandi.
“Ibu, kok ga bangunin Hasna sih.” Teriakku dari kamar
mandi sambil gosok gigi.
“Makanya sehabis Subuh itu jangan tidur. Kamu kan udah
gede juga, masa iya Ibu harus melulu bangunin kamu.”
“Ahh. Ibu. Nanti kalau Hasna telat bagaimana?”
“Emang biasanya gitu kan?”
“Hehehehe. Khilaf bu.”
“Khilaf kok tiap hari, seharusnya kamu bisa belajar dari kesalahan hari kemarin.”
“Khilaf kok tiap hari, seharusnya kamu bisa belajar dari kesalahan hari kemarin.”
“Iye..iye.. paham bu.” Aku menyadari ada sesuatu yang
janggal.
“IbuUuUuUu………………………….”
“Apa?”
“Tolong ambilkan handuk Hasna ya. hehehe. Ibu cantik
deh.“
***
Handphone ku berdering. Chika sms.
“Miss Late, buruan brangkat, ulangan Bu Indri lho. Uda
bljar kan? Awas kalo nanti nyontek tak bunuh qm!!.”
Alamak, astagfirullah. Matematika!
“Chika sayang yg aduhai, tolong dibantu-bantu yak, Q…
ngg..…. Hehe” ku balas smsnya sembari menunggu mobil jemputanku datang. Mobil
angkot.
Dia membalas, “NO WAY! Pasti g’ bljar lg ea? Awas qm ya!”
Tak usah aku ragu lah, dia kan teman yang tidak akan tega
melihat temannya menderita gara – gara rumus mematikan. Seperti kebanyakan
siswa di sekolah – sekolah, aku alergi dengan pelajaran ini. Lihat soalnya saja
sudah bersin – bersin. Aku lebih suka mentranslet satu buku modul Bahasa
Indonesia menjadi bahasa Inggris dari pada mengerjakan Matematika. Hhuft!
Tiada hari tanpa terlambat. Pak Jack sudah siap – siap menutup gerbang sekolah,
nama aslinya sih Pak Joko, tapi biar lebih keren dan singkat aku selalu
memanggilnya Pak Jack. Pak Satpam yang paling akrab denganku. Karena apalagi
kalau bukan keseringan telat kemudian beliau hafal denganku.
“Buruan Cah Ayu! Eits, benerin dulu itu jilbabnya,
compang – camping.”
“Ga papa Pak, yang penting ayu.”
“hahahha, yowis yowis, buruan masuk.”
Ku keluarkan jurus seribu bayanganku, menerobos parkiran,
melewati kelas satu, melintasi kantin bu Kamti. Bu Indri sudah sampai setengah
perjalanan ke kelasku, alamak! Ku tambah kecepatan langkahku ku tuju pada
jendela kelas paling ujung belakang.
“Dina..Dina.. woy, ini tolong dong tasku masukin, lempar
ke Chika, cepet!!.” Tak ku hiraukan wajah kecut Dina yang ikhlas ga ikhlas tetap
melakukan hal ini hampir setiap hari, aku yakin dia jengkel plus jenuh. Bu
Indri sudah sampai di kelas. Ku atur irama nafasku, tenang.. tenang, ku
langkahkan kaki ke ruang kelas.
“Permisi Bu..” Sambil ngap-ngapan.
“Iya, masuk.”
Yes..yes..yes, Bu Indri tidak menyadarinya. Hohoho. Tapi,
penderitaanku belum berakhir. Aku harus siap – siap menerima gencatan senjata
dari Chika. Dia lebih galak dari Bu Indri. Matanya melotot padaku, tajam! Tapi
seketika itu dia menulis sesuatu dan menyodorkannya padaku.
“Kali ini kau selamat! Untung aku lagi sakit gigi, jadi
tidak bisa mengomelimu secara habis habisan, tapi tunggu saja, setelah aku
sembuh, omelanku hari ini akan aku akumulasikan untuk hari berikutnya. Hahaha…
aduuhh -_-.. “ ku pandang wajah Chika,
ku coba tahan tawaku, Chika melihatku sambil mengepalkan tangannnya. Ups! Aku
kelepasan.
“Hasna, ada apa?” tanya Bu Indri.
“Eng..eng..nggak ada apa apa Bu, hehehe.”
“Baiklah, semuanya sudah siap? Keluarkan kertas! Ingat,
hanya ada selembar kertas, alat tulis saja yang ada si atas meja, semua
buku dimasukkan. Untuk coret – coretan
Ibu beri satu buram untuk satu anak. Jelas?”
“Jelas Bu..” jawab anak – anak satu kelas.
Alamak. Aku lupa, ini dia hantunya. Ku toleh Chika,
ternyata sakit giginya juga merubah sifat malaikatnya menjadi malaikat pencabut
nyawa.
“Chika, please.” Ku pasang wajah memelas dan sesekali ku
kedipkan mataku. Dia mulai menulis jawaban.
“NO WAY! KERJAIN SENDIRI!”
Ku tepuk jidatku. Chika, tunggu pembalasanku!
***
“Bagaimana ulanganmu tadi?” tanya Chika dengan suara
lirih menahan rasa sakit.
“Sukses!” mukaku kecut.
“Hahahahaha…haduh.. lebih baik ngerjain satu tumpuk soal
matematika dah daripada sakit gigi. Eh iya, tadi Ibu Eni nitip pesan untukmu,
hari Senin besok kamu ga boleh terlambat, beliau mohon dengan sangat, demi nama
baik mu dan Bu Eni. Parah Lu, Bu Eni sampai segitunya. Jangan kecewain beliau!”
“Iya? Bu Eni bilang gitu? Waw, Bu Eni memang baik hati,
malaikatku.”
“Yeee, Iya, Bu Eni memang malaikatmu tapi kamu setan di
mata Bu Eni. Hahahahha..haduh..”
“Diem ajaaaa, nanti kamu ompong gara- gara ketawa terus..
baiklah Bu Eni, akan ku buktikan!”
“Semoga berhasil anakku.” Chika menepuk bahuku.
***
“IbuUUuuuUuu…………. Kok listriknya dimatiin??” aku paling tidak bisa tidur dengan keadaan gelap, meski dalam keadaan lelap pun kalau lampu mati aku pasti akan terbangun. ku lihat baru jam 4 pagi.
“IbuUUuuuUuu…………. Kok listriknya dimatiin??” aku paling tidak bisa tidur dengan keadaan gelap, meski dalam keadaan lelap pun kalau lampu mati aku pasti akan terbangun. ku lihat baru jam 4 pagi.
“Katanya suruh bangunin, buruan bangun, bantu – bantu
ibu.” Sebelumnya aku sudah berpesan kepada Ibuku untuk membangunkanku hari ini,
dan beliau berhasil. Aku berpesan kepada orang yang tepat.
“Ibu, ngantuk.”
“Hasnaaaa!!!!”
“Iyaaa..Iyaaaa.”
Alhamdulillah, berkat ibu aku berhasil berangkat pagi.
Dan tidak terlambat, rekor MUI, kata Pak Jack. Setahuku Rekor MURI bukan MUI.
Bu Eni menyambutku gembira, dengan mata berkaca – kaca, Chika memelukku, ini
pada kenapa sih, berlebihan.
Hari Senin, upacara bendera dilaksanakan. Setelah Pembina
upacara selesai memberikan amanatnya, sang protokol membacakan acara
selanjutnya, tapi kali ini berbeda.
“Pengumuman – pengumuman.” Sontak suasana menjadi riuh.
Pasti akan ada berita baru. Pak Iqbal yang membacakannya.
“Alhamdulillah, segala puji bagi Allah telah memberikan
rahmatnya untuk sekolah kita. Seminggu yang lalu, sekolah kita dan 2 sekolah
lain mewakili kota Malang untuk ikut lomba debat bahasa Inggris di tingkat
Nasional. Alhamdulillah juara satu.” Suara tepuk tangan riuh membahana di
lapangan sekolah. Pak Iqbal kembali melanjutkan.
“Dan, dengan bangga saya panggil wakil dari sekolah kita
untuk maju dan menerima penghargaan. Untuk saudari Hasna Nuraini, silakan ke
depan.”
Chika memelukku erat, dia menangis dan teriak – teriak,
sakit giginya sembuh. Dina yang selama ini ketus padaku memberi ucapan selamat.
Ku tapaki jalan menuju mimbar, ku lihat semua orang tersenyum padaku sambil
tepuk tangan. Sampai mimbar, aku tak percaya berada disini, ratusan pasang mata
menatapku gembira. Aku menangis terharu, ketika aku menerima piagam dan trophy
semuanya bertepuk tangan untukku. Ketika ku angkat trophinya sambil tertawa dan
terharu tepuk tangan semakin riuh. Segala puji bagi engkau ya Allah. Tapi,
tangisku tak tertahankan ketika melihat sosok di paling belakang dengan seragam
hitam putihnya sambil mengangkat dua jempol untukku, Pak Jack. Hanya engkau
yang tak bosan menegurku kala terlambat.
Sekarang, yang ada dihadapan kalian bukanlah Miss Late.
Dia lah pemenang debat bahasa Inggris, jadi jangan cepat menyimpulkan sesuatu pada
orang lain. Jangan hanya pandang sebelah mata. Aku bukannya sombong, tapi
berhati – hati lah saat kamu memandang seseorang, jangan pernah menganggap
rendah. Kamu tak pernah tahu, justru dia punya nilai lebih darimu. Berhati –
hatilah kawanku.
0 komentar:
Posting Komentar