Oleh – Oleh Dari Stasiun Purwosari
“Mbak, Prameks satu.”
“Silakan mbak, sepuluh ribu.”
“Terima kasih.”
Ku perhatikan tiketku. Disitu tertera jam berangkat
kereta, pukul 15.17. ku lihat jam tanganku, pukul 13.23. masih lama.Ku tapaki
lantai konblok kotak – kotak kecil menuju deretan tempat duduk di ruang tunggu.
Masih sepi. Ku lihat hanya dua orang, pasangan suami istri nampaknya, sekitar
usia 50an tahun.
Ku pilih kursi yang akan ku jadikan tempat membuat waktu
selama kurang lebih dua jam. Dan takkan ku relakan waktuku berlalu begitu saja.
Ku rogoh tasku dank u ambil buku untuk membunnuh waktu. Ketika perjalanan jauh
barang itu teman terbaikki menghabiskan detik demi detik. Toh, dengan catatan
bacaan itu yang bagus dan bermanfaat.
Ku buka lembar demi lembar. Disela – sela itu terlihat
mulai banyak berdatangan calon penumpang yang akan bepergian. Entah ingin
berangkat atau pulang ke tempat tujuan masing – masing. Sesekali angin sepoi –
sepoi berlari pelan membawa sapuan debu dan beberapa tissue. Tissue? Masih ada
saja orang yang tidak tahu letak tempat sampah. Tapi kalau tidak ada orang
seperti itu petugas kebersihan tidak akan makan. Ya sudahlah.
Mata ini bergerak otomatis teruju pada gerak lanngkah
orang ang menuju ruang tunggu. Ku lihat seorang laki – laki membawa tas ransel
besar yang kelihatannya penuh barang di bahu kirinya dan tangan kanannya
menjinjing kardus biscuit bertali rafia hitam, mungkin dia baru atau akan
mudik. Beberapa saat kemudian seorang bapak – bapak sekitaran 45 tahun keatas
usianya. Dengan ransel dipunggung, memakai topi, dibawanya Koran, sambil ia
berjalan dengan diiringi lagu Judika Akulah yang Kau Sakiti dari ponselnya. Ku
perhatikan bapak – bapak itu, dibolak – bolik korannya sambil sesekali melongok
ke ponselnya. Ternyata dia sadar kalau sedang aku perhatikan, ditatapnya aku
dan aku mengangguk pelan dengan senyum terkejut.
Lalu mulai berdatanganlah para calon penumpang lain. Ibu
– ibu yang membawa barang belanjaan, mbak – mbak dengan jilbab rapid an
ransenya, mungkin seorang mahasiswa. Nenek dengan anak besera cucunya, pasangan
muda suami istri dengan bayi mungilnya, mas – mas, bapak – bapak sengan gaya
masing – masing. Ruang tunggu mulai penuh.
Saat ku rasa mata ini lelah membaca, ku lihat jam dinding
di sebelah kanan ruang tunggu dan tergantung sendirian disana, jam 14.25. masih
lama lagi. Ku istirahatkan mataku sejenak dank u putar – putar pandanganku. Ku
lihat arah depan, terarah pada pasangan suami istri yang berumuran setengah
abad tadi. Dengan memberi kode kepada sang istri, dimintanya untuk menggarukkan
punggung. Romantis sekali. aku tersenyum.
Ku alihkan pandanganku. Kini tertuju pada ibu – ibu dan
anak – anak sekitar 2-4 tahunan. Sang ibu dari anak yang duduk di deretan kiri
paling depan nomor dua terlihat mengulurkan makanan kepada anak yang duduk di
depannya. Terlihat wajah sumringah dari adik kecil itu sembari tangan mungilnya
menerima sepotong biscuit.
“Bilang apa dek? Terima kasih mbak.”
Dengan senyum yang mengembang diucapkanlah kata itu pada
ibu yang berbaik hati kepada anaknya. Aku kembali tersenyum, keramhan, saling
berbagi dan ketulusan masih bisa ku temui.
Aku kembali menatap berderet – deret kata digenggamanku.
Kali ini terdengar dari belakang kursiku pembicaraan seorang bapak – bapak
dengan seorang yang nun jauh disana
lewat telepon. Dari logatnya dia berasal dari luar Jawa. Suaranya keras
memekakan telinga. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Yang jelas suaranya
sedikit membuatku kaget.
Angin yang tadinya semilir sepoi – sepoi kini berbah
menjadi liar. Semakin kencang mengusik dedaunan dan mengayunkan ppohonan. Udara
dingin menyapa. Tak hanya itu, angin juga menggiring awan – awan mendung
beruntun. Mungkin karena awan – awan itu terbawa dengan kencang dan
berbenturan, mereka mulai menangis menjadi rintik – rintik gerimis, lalu hujan
mulai bergemuruh.
“Perhatian – perhatian. Jalur tiga – jalur tiga, kereta
dari arah timur, kereta Prameks dari arah timur tujuan Kutoarjo Yogyakarta,
silakan untuk calo penumpang untuk mempersiapkan diri, perhatikan barang bawaan
anda, selamat jalan dan teerima kasih.” Semua orang bergegas.
Alhamdulillah tak perlu aku berputar – putar mencari
krsi. Begitu aku masuk ku temukan ruang kosong. Ku nyamankan dudukku. Kali ini,
ku dapati pandangan yang membuatku merasa iri. Tak jauh dari tempat dudukku,
ada penumpang warga Negara asing. Ku lihat dia sedang berbincang dengan seorang
ibu – ibu mungkin sekitar 40 tahunan. Lancar sekali bahasa Inggrisnya. Seusia
itu? Tapi tampaknya ibu itu juga orang yang berpendidikan. Terlihat dari buku
yang dia bawa, VITRIFIVATION IN ASSISTED
REPRODUCTION. Bukunya tebal sekali, aku tak mengerti itu buku tentang apa. Awal
– awal aku mengerti apa pembicaraan mereka. Ibu itu menanyakan dari mana bule
itu, tapi tak terdengar jawabannya yang samar – samar itu olehku. Setelah itu
aku tak mengerti apa pembicaraan mereka. Sesekali ku lihat si ibu seperti
mendeskripsikan sesuatu dengan gerakan tangannya. Tak jaang mereka tertawa,
mungkin ada yang lucu diperbincangan
mereka. Akrab sekali.
Aah.. pasti asyik sekali bisa berbincang dengan orang
asing memakai bahasa internasional. Jujur, aku iri sekali. ku kernyitkan
dahiku. Ku tanya pada diriku, apa kabar bahasa Inggrisku ya? Dulu sempat
lancar, sekarang? Beginilah ilmu yang didapat tapi tidak dipraktikan dan diamalkan.
Terbang bersama wakru tanpa nilai. Ya Allah, ampuni hamba.
0 komentar:
Posting Komentar